BAB DUA

Rabu, 20 Juni 2012

Semburat merah langit Jakarta
             Sore selepas bermain futsal aku pulang kerumah. Aku selalu ingat untuk sarapan dan makan malam dirumah, masakan Ibu tidak ada yang menandingi. Ibu selalu bisa membuatku sedemikian rupa merindukannya. Kuharap gadisku nanti akan seperti Ibu, lagi-lagi mengkhayal, mungkin karena sekian lama menjomblo, aku tertawa sendiri.
            “mas, bannya kempes”, seseorang menegurku. Seorang lelaki tua bervespa warna merah delima.
            “oh iya pak terima kasih”, aku baru menyadari motorku agak goyang dikendarai. Lelaki tua tadi kemudian mendahuluiku. Aku menepi, mencari bengkel dijalan-jalan yang kulalui, dan bertanya-tanya pada orang. Hari sudah sore, semburat mega mulai tampak.
            “di dekat musola di gang sana ada mas, mas lurus aja, trus ada apotik didepan gangnya, apotik sehat namanya mas, gak jauh masuk ke gang ada musola, nah dideket situ ada bengkel mas”, ujar seseorang yang kutanyai. Setelah mengucapkan terima kasih aku mengikuti arahan dari orang tadi. Jalanan seperti biasa selalu ramai tapi tidak macet. Aku masuk ke gang yang dimaksud orang tadi sambil terus mendorong motorku, hanya berjarak beberapa rumah aku sudah menemukan mushola yang dimaksud, dan langsung menemukan bengkel yang hanya berjarak 2 rumah saja dari musola itu. Aku langsung membawa motorku ke bengkel, sambil menunggu aku melihat-lihat sekitar, kulihat vespa warna merah delima diparkir di halaman mushola. Kupandangi vespa itu, menarik. Sepertinya pemiliknya adalah bapak tua yang tadi menegurku karena ban motorku kempes, hatiku tergerak untuk melihatnya lebih dekat. Aku mengamati vespa itu hingga tak sadar seseorang berdiri di dekatku.
            “Assalamu’alaikum”, aku mengangkat kepalaku yang tengah mengamati motor tadi. Setengah terkejut melihat pemilik suara ternyata bapak tua tadi.
            “maaf pak, saya hanya melihat-lihat”, ujarku tanpa menyahut salamnya.
            “iya, iya, tidak apa-apa, motor ini memang tua tapi masih dalam kondisi baik”, ujarnya tanpa ditanyai sembari tangannya menepuk-nepuk pelan bagian kepala motornya.
            “iya, kelihatan sekali bapak merawatnya dengan baik”, aku mengiyakan sambil masih memperhatikan. Tiba-tiba adzan berkumandang dari speaker masjid, semburat mega merah kelihatan megah, mempesona. Bapak tua itu menepuk pundakku.
            “Baiknya kita shalat dulu, nanti bisa kita lanjutkan lagi”, aku menoleh sebentar ke bengkel, ban motorku pasti sudah selesai diganti, tak butuh waktu lama. Tapi ajakan Bapak tua ini mempesonaku, entah karena semburat merah langit Jakarta sore ini atau apapun aku akhirnya mengiyakan, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melakukan ini.

Lamat-lamat ku amati sekitar, sepi. Musola ini kecil, dan hanya ada kami berlima di dalamnya, aku, Bapak tua tadi, seorang remaja usia belasan tahun yang kuduga mengumandangkan adzan tadi, seorang anak kecil perempuan dan Ibunya. Tapi bisa kulihat Mushola ini bersih, terawat setidaknya ini berarti masih ada orang-orang yang bersedia menghidupkan mushola kecil seperti ini.
            “Silahkan nak”, bapak tadi mempersilahkanku maju ke depan dan menjadi imam shalat. Aku terbengong-bengong dan sedikit gugup. 
            “saya belum sunat pak”, glek, aku kemudian menyesal dengan apa yang kukatakan, menepuk mulutku sendiri, tentu saja kenyataannya tidak begitu. Remaja tanggung yang berdiri di sebelahku kemudian tertawa, tapi lalu ditahannya saat aku menoleh dan agak heran melihatnya tertawa. Bapak tua tadi hanya tersenyum-senyum lalu mengangguk-angguk beralih untuk memposisikan diri sebagai imam shalat.
***
            Sesampainya di rumah aku segera menghampiri meja makan. Perutku sudah terlalu lapar untuk menyisihkan waktu mandi. Apalagi mencium aroma masakan ibu, tak sanggup jika harus menunggu selesai mandi, lagipula saat paling nikmat menyantap makanan adalah saat perut dalam kondisi lapar.
            “Kakak ini jelek, gimana mau punya pacar, mandi aja nggak mau”, celetuk Mega.
            “Hey gendut, darimana kamu tahu soal pacaran? masih kecil udah tahu begituan”
        “kata Jodi Kakaknya udah punya pacar, aku tanya sama dia, pacar itu apa, katanya pacar itu seperti Ayah sama Ibu”, Jodi anak tetangga kami sekaligus teman sekolah Mega. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

BAB SATU (orientation)

Selamat pagi Jakarta !
            Kedua mataku yang masih terpejam mengkerut merasakan sinar matahari yang menerobos masuk entah darimana. Selimut masih rapat menutupi sekujur tubuhku. Sinar matahari yang masuk rasanya hangat menerpa pipiku. Akhirnya kedua mataku mengalah untuk perlahan membuka.
            “Aaah Ibu ...”, Wanita terbaikku itu tengah berdiri didekat jendela. Akhirnya aku tahu Ibu membukakan jendela untuk membuatku bangun.
            Ibuku hanya diam sambil mengemasi barang-barangku diatas meja didekat jendela. Seorang bocah berusia sekitar 5 tahun berlari ke arahku seperti banteng mengejar kain merah.
            “Mega ….!!!”, teriakku. Refleks aku langsung duduk, bocah gendut itu tidak sadar ranjangku bisa saja roboh karena ulahnya. Tubuhnya gempal dan pipinya tembem sangat menggemaskan. Ibu tersenyum-senyum melihat kami berdua.
            “Kakak, bangun!”, Ujarnya sambil menaiki ranjangku.
            “Iya ... ini aku sudah bangun gendut, memangnya kamu nggak lihat”,
            “lihat aku punya tas baru”, ia memamerkan tas barunya dengan senyum memperlihatkan deretan giginya yang tak rata.
            “Hahaha iya, bagus sekali, aku juga punya oleh-oleh untukmu”, Matanya langsung membulat mendengar kata-kataku dengan rona wajah semakin menggemaskan.
            “Apa? apa?”, wajahnya penasaran dan sangat senang.
            “semalam kamu udah tidur waktu mau kukasih, jadi kusimpan di pojok kamarku deh, tuh”, jari telunjukku menunjuk ke sudut kiri kamar dekat dengan pintu. Matanya langsung beralih ke ujung jariku. Matanya yang bulat bersih berbinar melihat benda dipojok kamarku.
            “Bernard ...... !!!!”, Sebuah boneka beruang putih tergeletak disana, tanpa basa-basi Mega berlari menuruni ranjang dan mengambilnya, ukurannya bahkan melebihi ukuran tubuhnya. Aku melihat ke arah Ibu, Ibu tersenyum. Biasanya aku paling senang membuatnya menangis, tapi aku juga kan saudara yang baik, membuatnya kegirangan juga sangat menyenangkan, jadi aku memutuskan membelikannya boneka.
            “Bilang apa sama Kakak?”, Ujar Ibuku menghampiri Mega yang sudah tak ingat selain boneka besar dalam pelukannya.
            “Makasih Kakak”, Mega langsung berlari keluar dari kamarku, pasti ia sedang berniat memamerkan boneka barunya pada Ayah Arman, Ayah tiriku.
            Aku bergegas bangun dan berniat mandi, sudah sebulan lebih aku tak melihat tempat ini, rindu. Yah, sebulan ke belakang aku tengah libur semester genap, liburan panjang, ayah kandungku memintaku untuk berada disana selama libur beberapa waktu, bukan apa-apa hanya rindu. Aku sudah terbiasa dengan hidup seperti itu, yang sulit hanya karena Ayah jauh, sudah 3 tahun belakangan ayah tinggal di New York, bersama Tyo saudara kembarku. Ayah sudah menikah lagi dengan wanita dari New York, seorang wanita karir. Ayahku seorang seniman, pelukis yang lumayan punya nama, tak sulit baginya bertemu dan berkenalan dengan bule-bule seperti Ibu tiriku sekarang. Aku tak keberatan, sejak awal perceraian kedua orang tuaku aku sudah bisa menerimanya, terkadang perpisahan lebih baik jika bersama sudah tak sejalan lagi. Komunikasi mereka justru terlihat lebih baik setelah berpisah.
***
            Aku menghampiri meja makan, ada Ibu yang tengah menyuapi adik tiriku, Mega. Mega anak dari Ibu dengan Ayah Arman, meski hubunganku tak begitu dekat Ayah Arman, aku menghargainya sebagai seorang lelaki yang mencintai Ibu dan menghadiahiku Mega, si gendut yang cerewet. Ada Ayah Arman juga disana, aku duduk dan ikut sarapan dengan mereka. Sedikit basa-basi dengan Ayah Arman agar tak terlalu kaku, tapi beliau baik, paling tidak aku tahu sikapnya lembut pada Ibu, beliau orang yang tidak banyak bicara, aku tak perlu khawatir ia akan menyakiti Ibuku. Ayah Arman manager disalah satu BANK swasta, beliau lebih muda dari Ibu beberapa tahun, tapi kelihatan sangat matang. Beliau juga punya hubungan baik dengan ayah kandungku, tak ada masalah yang berarti, tak ada alasan untukku jadi brutal karena dianggap berasal dari keluarga yang pernah gagal.
            Semalam aku baru saja sampai di Indonesia setelah berlibur di rumah baru Ayahku, kulihat kehidupan ayah dan keluarga barunya tak sulit, disana seni lebih banyak dihargai, dalam jangka waktu setahun lebih ayah sudah punya galeri sendiri, walaupun tidak besar tapi menurutku itu hebat. Ibu tiriku, Nicole namanya, aku memanggilnya Mom, dia ramah, beliau juga tak keberatan dengan kehidupan masa lalu ayahku, aku hanya terkendala masalah bahasa dengannya, karena bahasa inggrisku memang tak begitu bagus.
            Tyo saudara kembarku yang sempurna, ia mengambil semua keindahan ibu dan ayah, wajah tampan, kulit putih Ibu, hidung mancung Ayah, rambut lurus Ayah, tubuh tinggi Ayah,  dan otak cerdas Ibu! Tapi aku punya hubungan yang sangat dekat dengan Tyo, apalagi setelah kami saling jauh. Setelah dewasa kami semakin mengerti satu sama lain, konflik sering terjadi tapi justru itu yang selalu membuat kami kian dekat. Tyo tak mewarisi bakat seni ayah, tapi ia mewarisi kecerdasan ibu, sekarang ia sudah menyelesaikan study-nya, tapi ia melanjutkan S2 disana, matematika, entah apa lebih spesifiknya.
            Dan aku, Ryo si keriting, rambutku panjang melebihi bahu, berkulit hitam, dengan kecerdasan dan wajah yang biasa saja, hidung tidak mancung, tapi juga tidak pesek, tapi aku juga bertubuh tinggi, tinggiku kurang lebih dengan Tyo, aku heran mengapa dokter tega mengatakan kami kembar hanya karena lahir berselang beberapa menit dari Ibu yang sama, karena semua orang yang tahu itu akan mengatakan, “kok beda?”, yang bisa kubanggakan dari Tyo hanya gingsulku yang menurut orang gingsul itu membuat seseorang tampak lebih manis, itu juga atas persepsiku sendiri, tapi Tyo tidak punya itu! Aku mahasiswa teknik elektro disalah satu universitas di Jakarta, sudah 5 tahun lebih belum juga selesai, tapi aku tengah menyusun skripsi, kuharap kali ini aku bisa menyelesaikannya segera.
            “Ibu, ayah, aku berangkat dulu, aku harus ke kampus hari ini”, ujarku setelah menghabiskan sepiring nasi goreng lezat buatan Ibu dan menenggak segelas air putih diatas meja.
***
            “Ahh selamat pagi Jakarta!”, seruku dalam hati. Pagi di hari senin akan jadi hari yang padat untuk kebanyakan orang, tapi tidak untukku, sebenarnya aku tidak ada kegiatan apa-apa dikampus, hanya saja kampus sudah seperti rumah keduaku setelah rumah tempatku tinggal.  Aku berkaca melalui kaca spion motorku, memastikan wajah manisku ini cukup baik tampil dikampus. Motor ini sudah bertahun-tahun menemaniku, aku membelinya dari hasil keringatku sendiri, aku mau bekerja apa saja, mulai dari bertukang, berjualan, apapun selama itu tak melanggar hukum. Motor ini kubeli dengan kondisi yang tidak begitu baik, tapi aku bisa habis-habisan membuatnya tampan dan gagah, itu yang membuatku selalu mengendarainya dengan bangga, aku menyebutnya “”.
            Seperti biasa jalanan selalu padat, tapi aku tak diburu waktu, sehingga kubiarkan saja kendaraan lain menyelip-nyelip mendahuluiku. Mobil-mobil mewah berseliweran, gadis-gadis cantik, orang-orang tua, remaja-remaja, anak-anak, bunyi klakson yang membisingkan, suara-suara marah, gelak tawa, semua menjadi satu, aku menikmati pagi di Jakarta seperti ini.
            Aku memakirkan motorku tak jauh dari kantin, aku tahu bisa menemukan teman-temanku disini, kantin sederhana milik Ibu Nuna. Meski sederhana kantin ini paling ramai, pelayanan yang ramah dan harga yang murah tentunya. Rakyat Indonesia selalu menyukai tempat seperti ini, tentunya rakyat kecil sepertiku. Aku melambaikan tangan dari kejauhan saat sadar teman-temanku melihat ke arahku. Aku segera menghampiri mereka. Kantin Ibu Nuna menyediakan tempat duduk lesehan, dan tempat ini yang jadi markas kami berkumpul.
            “Wah … sudah datang kau rupanya Ryo, beta kira tidak pulang lagi kau ke Indonesia”, Tedi menyambutku dengan logat ambonnya yang kental.
            “hahaha, mana mungkin gue nggak balik lagi, rumah gue disini, lagian mau ngomong apa gue sama bule-bule disana, yang gue tau Cuma yes, no, ok, I love you”, Tedi dan teman-teman lain yang berada disitu tertawa renyah. Tedi, teman baikku, walaupun terlihat gahar karena perawakannya yang besar dan sifatnya yang cenderung emosional, tapi Tedi sosok yang solid, sangat menghargai arti kawan.
            “Kinan bro”, celetuk Beni melihat Kinan melewati tempat kami duduk. Teman-temanku memang selalu menjodoh-jodohkan aku dengan Kinan, karena selama mereka mengenalku aku tidak pernah bercerita tentang gadis yang kusuka, atau menunjukkan sikap suka pada seorang gadis. Kinan memang cantik, gadis baik, ramah, tidak ada alasan untuk tidak menyukainya, tapi aku dan Kinan hanya bisa berteman biasa. Bukan tidak pernah aku jatuh cinta, bukan tidak ingin aku mencintai dan dicintai seseorang, aku hanya belum menemukannya, tepatnya belum menemukan lagi seseorang yang tepat. Sampai saat ini dalam hidupku hanya ada dua wanita saja, Ibu dan Mega.
            “Sore ini kita main futsal yo, kurang satu orang, lu ikut ya”, ajak Beni membuyarkan lamunanku tentang wanita. Aku mengiyakan lalu pembicaraan beralih ke sepak bola. Aku sendiri tergila-gila pada bola, hanya saja aku tidak berminat menjadikannya lebih dari sekedar hoby, tapi untuk meluangkan waktu bermain bola aku tidak pernah ragu. Jangan-jangan kalau aku punya pacar aku akan lebih mencintai bola daripada gadis itu, aku tertawa sendiri memikirkan itu.

BAB DUA

·

Semburat merah langit Jakarta
             Sore selepas bermain futsal aku pulang kerumah. Aku selalu ingat untuk sarapan dan makan malam dirumah, masakan Ibu tidak ada yang menandingi. Ibu selalu bisa membuatku sedemikian rupa merindukannya. Kuharap gadisku nanti akan seperti Ibu, lagi-lagi mengkhayal, mungkin karena sekian lama menjomblo, aku tertawa sendiri.
            “mas, bannya kempes”, seseorang menegurku. Seorang lelaki tua bervespa warna merah delima.
            “oh iya pak terima kasih”, aku baru menyadari motorku agak goyang dikendarai. Lelaki tua tadi kemudian mendahuluiku. Aku menepi, mencari bengkel dijalan-jalan yang kulalui, dan bertanya-tanya pada orang. Hari sudah sore, semburat mega mulai tampak.
            “di dekat musola di gang sana ada mas, mas lurus aja, trus ada apotik didepan gangnya, apotik sehat namanya mas, gak jauh masuk ke gang ada musola, nah dideket situ ada bengkel mas”, ujar seseorang yang kutanyai. Setelah mengucapkan terima kasih aku mengikuti arahan dari orang tadi. Jalanan seperti biasa selalu ramai tapi tidak macet. Aku masuk ke gang yang dimaksud orang tadi sambil terus mendorong motorku, hanya berjarak beberapa rumah aku sudah menemukan mushola yang dimaksud, dan langsung menemukan bengkel yang hanya berjarak 2 rumah saja dari musola itu. Aku langsung membawa motorku ke bengkel, sambil menunggu aku melihat-lihat sekitar, kulihat vespa warna merah delima diparkir di halaman mushola. Kupandangi vespa itu, menarik. Sepertinya pemiliknya adalah bapak tua yang tadi menegurku karena ban motorku kempes, hatiku tergerak untuk melihatnya lebih dekat. Aku mengamati vespa itu hingga tak sadar seseorang berdiri di dekatku.
            “Assalamu’alaikum”, aku mengangkat kepalaku yang tengah mengamati motor tadi. Setengah terkejut melihat pemilik suara ternyata bapak tua tadi.
            “maaf pak, saya hanya melihat-lihat”, ujarku tanpa menyahut salamnya.
            “iya, iya, tidak apa-apa, motor ini memang tua tapi masih dalam kondisi baik”, ujarnya tanpa ditanyai sembari tangannya menepuk-nepuk pelan bagian kepala motornya.
            “iya, kelihatan sekali bapak merawatnya dengan baik”, aku mengiyakan sambil masih memperhatikan. Tiba-tiba adzan berkumandang dari speaker masjid, semburat mega merah kelihatan megah, mempesona. Bapak tua itu menepuk pundakku.
            “Baiknya kita shalat dulu, nanti bisa kita lanjutkan lagi”, aku menoleh sebentar ke bengkel, ban motorku pasti sudah selesai diganti, tak butuh waktu lama. Tapi ajakan Bapak tua ini mempesonaku, entah karena semburat merah langit Jakarta sore ini atau apapun aku akhirnya mengiyakan, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melakukan ini.

Lamat-lamat ku amati sekitar, sepi. Musola ini kecil, dan hanya ada kami berlima di dalamnya, aku, Bapak tua tadi, seorang remaja usia belasan tahun yang kuduga mengumandangkan adzan tadi, seorang anak kecil perempuan dan Ibunya. Tapi bisa kulihat Mushola ini bersih, terawat setidaknya ini berarti masih ada orang-orang yang bersedia menghidupkan mushola kecil seperti ini.
            “Silahkan nak”, bapak tadi mempersilahkanku maju ke depan dan menjadi imam shalat. Aku terbengong-bengong dan sedikit gugup. 
            “saya belum sunat pak”, glek, aku kemudian menyesal dengan apa yang kukatakan, menepuk mulutku sendiri, tentu saja kenyataannya tidak begitu. Remaja tanggung yang berdiri di sebelahku kemudian tertawa, tapi lalu ditahannya saat aku menoleh dan agak heran melihatnya tertawa. Bapak tua tadi hanya tersenyum-senyum lalu mengangguk-angguk beralih untuk memposisikan diri sebagai imam shalat.
***
            Sesampainya di rumah aku segera menghampiri meja makan. Perutku sudah terlalu lapar untuk menyisihkan waktu mandi. Apalagi mencium aroma masakan ibu, tak sanggup jika harus menunggu selesai mandi, lagipula saat paling nikmat menyantap makanan adalah saat perut dalam kondisi lapar.
            “Kakak ini jelek, gimana mau punya pacar, mandi aja nggak mau”, celetuk Mega.
            “Hey gendut, darimana kamu tahu soal pacaran? masih kecil udah tahu begituan”
        “kata Jodi Kakaknya udah punya pacar, aku tanya sama dia, pacar itu apa, katanya pacar itu seperti Ayah sama Ibu”, Jodi anak tetangga kami sekaligus teman sekolah Mega. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

BAB SATU (orientation)

·

Selamat pagi Jakarta !
            Kedua mataku yang masih terpejam mengkerut merasakan sinar matahari yang menerobos masuk entah darimana. Selimut masih rapat menutupi sekujur tubuhku. Sinar matahari yang masuk rasanya hangat menerpa pipiku. Akhirnya kedua mataku mengalah untuk perlahan membuka.
            “Aaah Ibu ...”, Wanita terbaikku itu tengah berdiri didekat jendela. Akhirnya aku tahu Ibu membukakan jendela untuk membuatku bangun.
            Ibuku hanya diam sambil mengemasi barang-barangku diatas meja didekat jendela. Seorang bocah berusia sekitar 5 tahun berlari ke arahku seperti banteng mengejar kain merah.
            “Mega ….!!!”, teriakku. Refleks aku langsung duduk, bocah gendut itu tidak sadar ranjangku bisa saja roboh karena ulahnya. Tubuhnya gempal dan pipinya tembem sangat menggemaskan. Ibu tersenyum-senyum melihat kami berdua.
            “Kakak, bangun!”, Ujarnya sambil menaiki ranjangku.
            “Iya ... ini aku sudah bangun gendut, memangnya kamu nggak lihat”,
            “lihat aku punya tas baru”, ia memamerkan tas barunya dengan senyum memperlihatkan deretan giginya yang tak rata.
            “Hahaha iya, bagus sekali, aku juga punya oleh-oleh untukmu”, Matanya langsung membulat mendengar kata-kataku dengan rona wajah semakin menggemaskan.
            “Apa? apa?”, wajahnya penasaran dan sangat senang.
            “semalam kamu udah tidur waktu mau kukasih, jadi kusimpan di pojok kamarku deh, tuh”, jari telunjukku menunjuk ke sudut kiri kamar dekat dengan pintu. Matanya langsung beralih ke ujung jariku. Matanya yang bulat bersih berbinar melihat benda dipojok kamarku.
            “Bernard ...... !!!!”, Sebuah boneka beruang putih tergeletak disana, tanpa basa-basi Mega berlari menuruni ranjang dan mengambilnya, ukurannya bahkan melebihi ukuran tubuhnya. Aku melihat ke arah Ibu, Ibu tersenyum. Biasanya aku paling senang membuatnya menangis, tapi aku juga kan saudara yang baik, membuatnya kegirangan juga sangat menyenangkan, jadi aku memutuskan membelikannya boneka.
            “Bilang apa sama Kakak?”, Ujar Ibuku menghampiri Mega yang sudah tak ingat selain boneka besar dalam pelukannya.
            “Makasih Kakak”, Mega langsung berlari keluar dari kamarku, pasti ia sedang berniat memamerkan boneka barunya pada Ayah Arman, Ayah tiriku.
            Aku bergegas bangun dan berniat mandi, sudah sebulan lebih aku tak melihat tempat ini, rindu. Yah, sebulan ke belakang aku tengah libur semester genap, liburan panjang, ayah kandungku memintaku untuk berada disana selama libur beberapa waktu, bukan apa-apa hanya rindu. Aku sudah terbiasa dengan hidup seperti itu, yang sulit hanya karena Ayah jauh, sudah 3 tahun belakangan ayah tinggal di New York, bersama Tyo saudara kembarku. Ayah sudah menikah lagi dengan wanita dari New York, seorang wanita karir. Ayahku seorang seniman, pelukis yang lumayan punya nama, tak sulit baginya bertemu dan berkenalan dengan bule-bule seperti Ibu tiriku sekarang. Aku tak keberatan, sejak awal perceraian kedua orang tuaku aku sudah bisa menerimanya, terkadang perpisahan lebih baik jika bersama sudah tak sejalan lagi. Komunikasi mereka justru terlihat lebih baik setelah berpisah.
***
            Aku menghampiri meja makan, ada Ibu yang tengah menyuapi adik tiriku, Mega. Mega anak dari Ibu dengan Ayah Arman, meski hubunganku tak begitu dekat Ayah Arman, aku menghargainya sebagai seorang lelaki yang mencintai Ibu dan menghadiahiku Mega, si gendut yang cerewet. Ada Ayah Arman juga disana, aku duduk dan ikut sarapan dengan mereka. Sedikit basa-basi dengan Ayah Arman agar tak terlalu kaku, tapi beliau baik, paling tidak aku tahu sikapnya lembut pada Ibu, beliau orang yang tidak banyak bicara, aku tak perlu khawatir ia akan menyakiti Ibuku. Ayah Arman manager disalah satu BANK swasta, beliau lebih muda dari Ibu beberapa tahun, tapi kelihatan sangat matang. Beliau juga punya hubungan baik dengan ayah kandungku, tak ada masalah yang berarti, tak ada alasan untukku jadi brutal karena dianggap berasal dari keluarga yang pernah gagal.
            Semalam aku baru saja sampai di Indonesia setelah berlibur di rumah baru Ayahku, kulihat kehidupan ayah dan keluarga barunya tak sulit, disana seni lebih banyak dihargai, dalam jangka waktu setahun lebih ayah sudah punya galeri sendiri, walaupun tidak besar tapi menurutku itu hebat. Ibu tiriku, Nicole namanya, aku memanggilnya Mom, dia ramah, beliau juga tak keberatan dengan kehidupan masa lalu ayahku, aku hanya terkendala masalah bahasa dengannya, karena bahasa inggrisku memang tak begitu bagus.
            Tyo saudara kembarku yang sempurna, ia mengambil semua keindahan ibu dan ayah, wajah tampan, kulit putih Ibu, hidung mancung Ayah, rambut lurus Ayah, tubuh tinggi Ayah,  dan otak cerdas Ibu! Tapi aku punya hubungan yang sangat dekat dengan Tyo, apalagi setelah kami saling jauh. Setelah dewasa kami semakin mengerti satu sama lain, konflik sering terjadi tapi justru itu yang selalu membuat kami kian dekat. Tyo tak mewarisi bakat seni ayah, tapi ia mewarisi kecerdasan ibu, sekarang ia sudah menyelesaikan study-nya, tapi ia melanjutkan S2 disana, matematika, entah apa lebih spesifiknya.
            Dan aku, Ryo si keriting, rambutku panjang melebihi bahu, berkulit hitam, dengan kecerdasan dan wajah yang biasa saja, hidung tidak mancung, tapi juga tidak pesek, tapi aku juga bertubuh tinggi, tinggiku kurang lebih dengan Tyo, aku heran mengapa dokter tega mengatakan kami kembar hanya karena lahir berselang beberapa menit dari Ibu yang sama, karena semua orang yang tahu itu akan mengatakan, “kok beda?”, yang bisa kubanggakan dari Tyo hanya gingsulku yang menurut orang gingsul itu membuat seseorang tampak lebih manis, itu juga atas persepsiku sendiri, tapi Tyo tidak punya itu! Aku mahasiswa teknik elektro disalah satu universitas di Jakarta, sudah 5 tahun lebih belum juga selesai, tapi aku tengah menyusun skripsi, kuharap kali ini aku bisa menyelesaikannya segera.
            “Ibu, ayah, aku berangkat dulu, aku harus ke kampus hari ini”, ujarku setelah menghabiskan sepiring nasi goreng lezat buatan Ibu dan menenggak segelas air putih diatas meja.
***
            “Ahh selamat pagi Jakarta!”, seruku dalam hati. Pagi di hari senin akan jadi hari yang padat untuk kebanyakan orang, tapi tidak untukku, sebenarnya aku tidak ada kegiatan apa-apa dikampus, hanya saja kampus sudah seperti rumah keduaku setelah rumah tempatku tinggal.  Aku berkaca melalui kaca spion motorku, memastikan wajah manisku ini cukup baik tampil dikampus. Motor ini sudah bertahun-tahun menemaniku, aku membelinya dari hasil keringatku sendiri, aku mau bekerja apa saja, mulai dari bertukang, berjualan, apapun selama itu tak melanggar hukum. Motor ini kubeli dengan kondisi yang tidak begitu baik, tapi aku bisa habis-habisan membuatnya tampan dan gagah, itu yang membuatku selalu mengendarainya dengan bangga, aku menyebutnya “”.
            Seperti biasa jalanan selalu padat, tapi aku tak diburu waktu, sehingga kubiarkan saja kendaraan lain menyelip-nyelip mendahuluiku. Mobil-mobil mewah berseliweran, gadis-gadis cantik, orang-orang tua, remaja-remaja, anak-anak, bunyi klakson yang membisingkan, suara-suara marah, gelak tawa, semua menjadi satu, aku menikmati pagi di Jakarta seperti ini.
            Aku memakirkan motorku tak jauh dari kantin, aku tahu bisa menemukan teman-temanku disini, kantin sederhana milik Ibu Nuna. Meski sederhana kantin ini paling ramai, pelayanan yang ramah dan harga yang murah tentunya. Rakyat Indonesia selalu menyukai tempat seperti ini, tentunya rakyat kecil sepertiku. Aku melambaikan tangan dari kejauhan saat sadar teman-temanku melihat ke arahku. Aku segera menghampiri mereka. Kantin Ibu Nuna menyediakan tempat duduk lesehan, dan tempat ini yang jadi markas kami berkumpul.
            “Wah … sudah datang kau rupanya Ryo, beta kira tidak pulang lagi kau ke Indonesia”, Tedi menyambutku dengan logat ambonnya yang kental.
            “hahaha, mana mungkin gue nggak balik lagi, rumah gue disini, lagian mau ngomong apa gue sama bule-bule disana, yang gue tau Cuma yes, no, ok, I love you”, Tedi dan teman-teman lain yang berada disitu tertawa renyah. Tedi, teman baikku, walaupun terlihat gahar karena perawakannya yang besar dan sifatnya yang cenderung emosional, tapi Tedi sosok yang solid, sangat menghargai arti kawan.
            “Kinan bro”, celetuk Beni melihat Kinan melewati tempat kami duduk. Teman-temanku memang selalu menjodoh-jodohkan aku dengan Kinan, karena selama mereka mengenalku aku tidak pernah bercerita tentang gadis yang kusuka, atau menunjukkan sikap suka pada seorang gadis. Kinan memang cantik, gadis baik, ramah, tidak ada alasan untuk tidak menyukainya, tapi aku dan Kinan hanya bisa berteman biasa. Bukan tidak pernah aku jatuh cinta, bukan tidak ingin aku mencintai dan dicintai seseorang, aku hanya belum menemukannya, tepatnya belum menemukan lagi seseorang yang tepat. Sampai saat ini dalam hidupku hanya ada dua wanita saja, Ibu dan Mega.
            “Sore ini kita main futsal yo, kurang satu orang, lu ikut ya”, ajak Beni membuyarkan lamunanku tentang wanita. Aku mengiyakan lalu pembicaraan beralih ke sepak bola. Aku sendiri tergila-gila pada bola, hanya saja aku tidak berminat menjadikannya lebih dari sekedar hoby, tapi untuk meluangkan waktu bermain bola aku tidak pernah ragu. Jangan-jangan kalau aku punya pacar aku akan lebih mencintai bola daripada gadis itu, aku tertawa sendiri memikirkan itu.

Rabu, 20 Juni 2012

BAB DUA


Semburat merah langit Jakarta
             Sore selepas bermain futsal aku pulang kerumah. Aku selalu ingat untuk sarapan dan makan malam dirumah, masakan Ibu tidak ada yang menandingi. Ibu selalu bisa membuatku sedemikian rupa merindukannya. Kuharap gadisku nanti akan seperti Ibu, lagi-lagi mengkhayal, mungkin karena sekian lama menjomblo, aku tertawa sendiri.
            “mas, bannya kempes”, seseorang menegurku. Seorang lelaki tua bervespa warna merah delima.
            “oh iya pak terima kasih”, aku baru menyadari motorku agak goyang dikendarai. Lelaki tua tadi kemudian mendahuluiku. Aku menepi, mencari bengkel dijalan-jalan yang kulalui, dan bertanya-tanya pada orang. Hari sudah sore, semburat mega mulai tampak.
            “di dekat musola di gang sana ada mas, mas lurus aja, trus ada apotik didepan gangnya, apotik sehat namanya mas, gak jauh masuk ke gang ada musola, nah dideket situ ada bengkel mas”, ujar seseorang yang kutanyai. Setelah mengucapkan terima kasih aku mengikuti arahan dari orang tadi. Jalanan seperti biasa selalu ramai tapi tidak macet. Aku masuk ke gang yang dimaksud orang tadi sambil terus mendorong motorku, hanya berjarak beberapa rumah aku sudah menemukan mushola yang dimaksud, dan langsung menemukan bengkel yang hanya berjarak 2 rumah saja dari musola itu. Aku langsung membawa motorku ke bengkel, sambil menunggu aku melihat-lihat sekitar, kulihat vespa warna merah delima diparkir di halaman mushola. Kupandangi vespa itu, menarik. Sepertinya pemiliknya adalah bapak tua yang tadi menegurku karena ban motorku kempes, hatiku tergerak untuk melihatnya lebih dekat. Aku mengamati vespa itu hingga tak sadar seseorang berdiri di dekatku.
            “Assalamu’alaikum”, aku mengangkat kepalaku yang tengah mengamati motor tadi. Setengah terkejut melihat pemilik suara ternyata bapak tua tadi.
            “maaf pak, saya hanya melihat-lihat”, ujarku tanpa menyahut salamnya.
            “iya, iya, tidak apa-apa, motor ini memang tua tapi masih dalam kondisi baik”, ujarnya tanpa ditanyai sembari tangannya menepuk-nepuk pelan bagian kepala motornya.
            “iya, kelihatan sekali bapak merawatnya dengan baik”, aku mengiyakan sambil masih memperhatikan. Tiba-tiba adzan berkumandang dari speaker masjid, semburat mega merah kelihatan megah, mempesona. Bapak tua itu menepuk pundakku.
            “Baiknya kita shalat dulu, nanti bisa kita lanjutkan lagi”, aku menoleh sebentar ke bengkel, ban motorku pasti sudah selesai diganti, tak butuh waktu lama. Tapi ajakan Bapak tua ini mempesonaku, entah karena semburat merah langit Jakarta sore ini atau apapun aku akhirnya mengiyakan, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melakukan ini.

Lamat-lamat ku amati sekitar, sepi. Musola ini kecil, dan hanya ada kami berlima di dalamnya, aku, Bapak tua tadi, seorang remaja usia belasan tahun yang kuduga mengumandangkan adzan tadi, seorang anak kecil perempuan dan Ibunya. Tapi bisa kulihat Mushola ini bersih, terawat setidaknya ini berarti masih ada orang-orang yang bersedia menghidupkan mushola kecil seperti ini.
            “Silahkan nak”, bapak tadi mempersilahkanku maju ke depan dan menjadi imam shalat. Aku terbengong-bengong dan sedikit gugup. 
            “saya belum sunat pak”, glek, aku kemudian menyesal dengan apa yang kukatakan, menepuk mulutku sendiri, tentu saja kenyataannya tidak begitu. Remaja tanggung yang berdiri di sebelahku kemudian tertawa, tapi lalu ditahannya saat aku menoleh dan agak heran melihatnya tertawa. Bapak tua tadi hanya tersenyum-senyum lalu mengangguk-angguk beralih untuk memposisikan diri sebagai imam shalat.
***
            Sesampainya di rumah aku segera menghampiri meja makan. Perutku sudah terlalu lapar untuk menyisihkan waktu mandi. Apalagi mencium aroma masakan ibu, tak sanggup jika harus menunggu selesai mandi, lagipula saat paling nikmat menyantap makanan adalah saat perut dalam kondisi lapar.
            “Kakak ini jelek, gimana mau punya pacar, mandi aja nggak mau”, celetuk Mega.
            “Hey gendut, darimana kamu tahu soal pacaran? masih kecil udah tahu begituan”
        “kata Jodi Kakaknya udah punya pacar, aku tanya sama dia, pacar itu apa, katanya pacar itu seperti Ayah sama Ibu”, Jodi anak tetangga kami sekaligus teman sekolah Mega. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

BAB SATU (orientation)


Selamat pagi Jakarta !
            Kedua mataku yang masih terpejam mengkerut merasakan sinar matahari yang menerobos masuk entah darimana. Selimut masih rapat menutupi sekujur tubuhku. Sinar matahari yang masuk rasanya hangat menerpa pipiku. Akhirnya kedua mataku mengalah untuk perlahan membuka.
            “Aaah Ibu ...”, Wanita terbaikku itu tengah berdiri didekat jendela. Akhirnya aku tahu Ibu membukakan jendela untuk membuatku bangun.
            Ibuku hanya diam sambil mengemasi barang-barangku diatas meja didekat jendela. Seorang bocah berusia sekitar 5 tahun berlari ke arahku seperti banteng mengejar kain merah.
            “Mega ….!!!”, teriakku. Refleks aku langsung duduk, bocah gendut itu tidak sadar ranjangku bisa saja roboh karena ulahnya. Tubuhnya gempal dan pipinya tembem sangat menggemaskan. Ibu tersenyum-senyum melihat kami berdua.
            “Kakak, bangun!”, Ujarnya sambil menaiki ranjangku.
            “Iya ... ini aku sudah bangun gendut, memangnya kamu nggak lihat”,
            “lihat aku punya tas baru”, ia memamerkan tas barunya dengan senyum memperlihatkan deretan giginya yang tak rata.
            “Hahaha iya, bagus sekali, aku juga punya oleh-oleh untukmu”, Matanya langsung membulat mendengar kata-kataku dengan rona wajah semakin menggemaskan.
            “Apa? apa?”, wajahnya penasaran dan sangat senang.
            “semalam kamu udah tidur waktu mau kukasih, jadi kusimpan di pojok kamarku deh, tuh”, jari telunjukku menunjuk ke sudut kiri kamar dekat dengan pintu. Matanya langsung beralih ke ujung jariku. Matanya yang bulat bersih berbinar melihat benda dipojok kamarku.
            “Bernard ...... !!!!”, Sebuah boneka beruang putih tergeletak disana, tanpa basa-basi Mega berlari menuruni ranjang dan mengambilnya, ukurannya bahkan melebihi ukuran tubuhnya. Aku melihat ke arah Ibu, Ibu tersenyum. Biasanya aku paling senang membuatnya menangis, tapi aku juga kan saudara yang baik, membuatnya kegirangan juga sangat menyenangkan, jadi aku memutuskan membelikannya boneka.
            “Bilang apa sama Kakak?”, Ujar Ibuku menghampiri Mega yang sudah tak ingat selain boneka besar dalam pelukannya.
            “Makasih Kakak”, Mega langsung berlari keluar dari kamarku, pasti ia sedang berniat memamerkan boneka barunya pada Ayah Arman, Ayah tiriku.
            Aku bergegas bangun dan berniat mandi, sudah sebulan lebih aku tak melihat tempat ini, rindu. Yah, sebulan ke belakang aku tengah libur semester genap, liburan panjang, ayah kandungku memintaku untuk berada disana selama libur beberapa waktu, bukan apa-apa hanya rindu. Aku sudah terbiasa dengan hidup seperti itu, yang sulit hanya karena Ayah jauh, sudah 3 tahun belakangan ayah tinggal di New York, bersama Tyo saudara kembarku. Ayah sudah menikah lagi dengan wanita dari New York, seorang wanita karir. Ayahku seorang seniman, pelukis yang lumayan punya nama, tak sulit baginya bertemu dan berkenalan dengan bule-bule seperti Ibu tiriku sekarang. Aku tak keberatan, sejak awal perceraian kedua orang tuaku aku sudah bisa menerimanya, terkadang perpisahan lebih baik jika bersama sudah tak sejalan lagi. Komunikasi mereka justru terlihat lebih baik setelah berpisah.
***
            Aku menghampiri meja makan, ada Ibu yang tengah menyuapi adik tiriku, Mega. Mega anak dari Ibu dengan Ayah Arman, meski hubunganku tak begitu dekat Ayah Arman, aku menghargainya sebagai seorang lelaki yang mencintai Ibu dan menghadiahiku Mega, si gendut yang cerewet. Ada Ayah Arman juga disana, aku duduk dan ikut sarapan dengan mereka. Sedikit basa-basi dengan Ayah Arman agar tak terlalu kaku, tapi beliau baik, paling tidak aku tahu sikapnya lembut pada Ibu, beliau orang yang tidak banyak bicara, aku tak perlu khawatir ia akan menyakiti Ibuku. Ayah Arman manager disalah satu BANK swasta, beliau lebih muda dari Ibu beberapa tahun, tapi kelihatan sangat matang. Beliau juga punya hubungan baik dengan ayah kandungku, tak ada masalah yang berarti, tak ada alasan untukku jadi brutal karena dianggap berasal dari keluarga yang pernah gagal.
            Semalam aku baru saja sampai di Indonesia setelah berlibur di rumah baru Ayahku, kulihat kehidupan ayah dan keluarga barunya tak sulit, disana seni lebih banyak dihargai, dalam jangka waktu setahun lebih ayah sudah punya galeri sendiri, walaupun tidak besar tapi menurutku itu hebat. Ibu tiriku, Nicole namanya, aku memanggilnya Mom, dia ramah, beliau juga tak keberatan dengan kehidupan masa lalu ayahku, aku hanya terkendala masalah bahasa dengannya, karena bahasa inggrisku memang tak begitu bagus.
            Tyo saudara kembarku yang sempurna, ia mengambil semua keindahan ibu dan ayah, wajah tampan, kulit putih Ibu, hidung mancung Ayah, rambut lurus Ayah, tubuh tinggi Ayah,  dan otak cerdas Ibu! Tapi aku punya hubungan yang sangat dekat dengan Tyo, apalagi setelah kami saling jauh. Setelah dewasa kami semakin mengerti satu sama lain, konflik sering terjadi tapi justru itu yang selalu membuat kami kian dekat. Tyo tak mewarisi bakat seni ayah, tapi ia mewarisi kecerdasan ibu, sekarang ia sudah menyelesaikan study-nya, tapi ia melanjutkan S2 disana, matematika, entah apa lebih spesifiknya.
            Dan aku, Ryo si keriting, rambutku panjang melebihi bahu, berkulit hitam, dengan kecerdasan dan wajah yang biasa saja, hidung tidak mancung, tapi juga tidak pesek, tapi aku juga bertubuh tinggi, tinggiku kurang lebih dengan Tyo, aku heran mengapa dokter tega mengatakan kami kembar hanya karena lahir berselang beberapa menit dari Ibu yang sama, karena semua orang yang tahu itu akan mengatakan, “kok beda?”, yang bisa kubanggakan dari Tyo hanya gingsulku yang menurut orang gingsul itu membuat seseorang tampak lebih manis, itu juga atas persepsiku sendiri, tapi Tyo tidak punya itu! Aku mahasiswa teknik elektro disalah satu universitas di Jakarta, sudah 5 tahun lebih belum juga selesai, tapi aku tengah menyusun skripsi, kuharap kali ini aku bisa menyelesaikannya segera.
            “Ibu, ayah, aku berangkat dulu, aku harus ke kampus hari ini”, ujarku setelah menghabiskan sepiring nasi goreng lezat buatan Ibu dan menenggak segelas air putih diatas meja.
***
            “Ahh selamat pagi Jakarta!”, seruku dalam hati. Pagi di hari senin akan jadi hari yang padat untuk kebanyakan orang, tapi tidak untukku, sebenarnya aku tidak ada kegiatan apa-apa dikampus, hanya saja kampus sudah seperti rumah keduaku setelah rumah tempatku tinggal.  Aku berkaca melalui kaca spion motorku, memastikan wajah manisku ini cukup baik tampil dikampus. Motor ini sudah bertahun-tahun menemaniku, aku membelinya dari hasil keringatku sendiri, aku mau bekerja apa saja, mulai dari bertukang, berjualan, apapun selama itu tak melanggar hukum. Motor ini kubeli dengan kondisi yang tidak begitu baik, tapi aku bisa habis-habisan membuatnya tampan dan gagah, itu yang membuatku selalu mengendarainya dengan bangga, aku menyebutnya “”.
            Seperti biasa jalanan selalu padat, tapi aku tak diburu waktu, sehingga kubiarkan saja kendaraan lain menyelip-nyelip mendahuluiku. Mobil-mobil mewah berseliweran, gadis-gadis cantik, orang-orang tua, remaja-remaja, anak-anak, bunyi klakson yang membisingkan, suara-suara marah, gelak tawa, semua menjadi satu, aku menikmati pagi di Jakarta seperti ini.
            Aku memakirkan motorku tak jauh dari kantin, aku tahu bisa menemukan teman-temanku disini, kantin sederhana milik Ibu Nuna. Meski sederhana kantin ini paling ramai, pelayanan yang ramah dan harga yang murah tentunya. Rakyat Indonesia selalu menyukai tempat seperti ini, tentunya rakyat kecil sepertiku. Aku melambaikan tangan dari kejauhan saat sadar teman-temanku melihat ke arahku. Aku segera menghampiri mereka. Kantin Ibu Nuna menyediakan tempat duduk lesehan, dan tempat ini yang jadi markas kami berkumpul.
            “Wah … sudah datang kau rupanya Ryo, beta kira tidak pulang lagi kau ke Indonesia”, Tedi menyambutku dengan logat ambonnya yang kental.
            “hahaha, mana mungkin gue nggak balik lagi, rumah gue disini, lagian mau ngomong apa gue sama bule-bule disana, yang gue tau Cuma yes, no, ok, I love you”, Tedi dan teman-teman lain yang berada disitu tertawa renyah. Tedi, teman baikku, walaupun terlihat gahar karena perawakannya yang besar dan sifatnya yang cenderung emosional, tapi Tedi sosok yang solid, sangat menghargai arti kawan.
            “Kinan bro”, celetuk Beni melihat Kinan melewati tempat kami duduk. Teman-temanku memang selalu menjodoh-jodohkan aku dengan Kinan, karena selama mereka mengenalku aku tidak pernah bercerita tentang gadis yang kusuka, atau menunjukkan sikap suka pada seorang gadis. Kinan memang cantik, gadis baik, ramah, tidak ada alasan untuk tidak menyukainya, tapi aku dan Kinan hanya bisa berteman biasa. Bukan tidak pernah aku jatuh cinta, bukan tidak ingin aku mencintai dan dicintai seseorang, aku hanya belum menemukannya, tepatnya belum menemukan lagi seseorang yang tepat. Sampai saat ini dalam hidupku hanya ada dua wanita saja, Ibu dan Mega.
            “Sore ini kita main futsal yo, kurang satu orang, lu ikut ya”, ajak Beni membuyarkan lamunanku tentang wanita. Aku mengiyakan lalu pembicaraan beralih ke sepak bola. Aku sendiri tergila-gila pada bola, hanya saja aku tidak berminat menjadikannya lebih dari sekedar hoby, tapi untuk meluangkan waktu bermain bola aku tidak pernah ragu. Jangan-jangan kalau aku punya pacar aku akan lebih mencintai bola daripada gadis itu, aku tertawa sendiri memikirkan itu.