Semburat merah langit Jakarta
Sore selepas bermain futsal aku pulang kerumah. Aku selalu ingat untuk sarapan dan makan malam dirumah, masakan Ibu tidak ada yang menandingi. Ibu selalu bisa membuatku sedemikian rupa merindukannya. Kuharap gadisku nanti akan seperti Ibu, lagi-lagi mengkhayal, mungkin karena sekian lama menjomblo, aku tertawa sendiri.
“mas, bannya kempes”, seseorang menegurku. Seorang lelaki tua bervespa warna merah delima.
“oh iya pak terima kasih”, aku baru menyadari motorku agak goyang dikendarai. Lelaki tua tadi kemudian mendahuluiku. Aku menepi, mencari bengkel dijalan-jalan yang kulalui, dan bertanya-tanya pada orang. Hari sudah sore, semburat mega mulai tampak.
“di dekat musola di gang sana ada mas, mas lurus aja, trus ada apotik didepan gangnya, apotik sehat namanya mas, gak jauh masuk ke gang ada musola, nah dideket situ ada bengkel mas”, ujar seseorang yang kutanyai. Setelah mengucapkan terima kasih aku mengikuti arahan dari orang tadi. Jalanan seperti biasa selalu ramai tapi tidak macet. Aku masuk ke gang yang dimaksud orang tadi sambil terus mendorong motorku, hanya berjarak beberapa rumah aku sudah menemukan mushola yang dimaksud, dan langsung menemukan bengkel yang hanya berjarak 2 rumah saja dari musola itu. Aku langsung membawa motorku ke bengkel, sambil menunggu aku melihat-lihat sekitar, kulihat vespa warna merah delima diparkir di halaman mushola. Kupandangi vespa itu, menarik. Sepertinya pemiliknya adalah bapak tua yang tadi menegurku karena ban motorku kempes, hatiku tergerak untuk melihatnya lebih dekat. Aku mengamati vespa itu
hingga tak sadar seseorang berdiri di dekatku.
“Assalamu’alaikum”, aku mengangkat kepalaku yang tengah
mengamati motor tadi. Setengah terkejut melihat pemilik suara ternyata bapak
tua tadi.
“maaf pak, saya hanya melihat-lihat”, ujarku tanpa menyahut
salamnya.
“iya, iya, tidak apa-apa, motor ini memang tua tapi masih
dalam kondisi baik”, ujarnya tanpa ditanyai sembari tangannya menepuk-nepuk
pelan bagian kepala motornya.
“iya, kelihatan sekali bapak merawatnya dengan baik”, aku
mengiyakan sambil masih memperhatikan. Tiba-tiba adzan berkumandang dari
speaker masjid, semburat mega merah kelihatan megah, mempesona. Bapak tua itu
menepuk pundakku.
“Baiknya kita shalat dulu, nanti bisa kita lanjutkan
lagi”, aku menoleh sebentar ke bengkel, ban motorku pasti sudah selesai
diganti, tak butuh waktu lama. Tapi ajakan Bapak tua ini mempesonaku, entah
karena semburat merah langit Jakarta sore ini atau apapun aku akhirnya
mengiyakan, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melakukan ini.
Lamat-lamat ku amati
sekitar, sepi. Musola ini kecil, dan hanya ada kami berlima di dalamnya, aku,
Bapak tua tadi, seorang remaja usia belasan tahun yang kuduga mengumandangkan
adzan tadi, seorang anak kecil perempuan dan Ibunya. Tapi bisa kulihat Mushola ini bersih, terawat setidaknya ini berarti masih ada orang-orang
yang bersedia menghidupkan mushola kecil seperti ini.
“Silahkan
nak”, bapak tadi mempersilahkanku maju ke depan dan menjadi imam shalat. Aku
terbengong-bengong dan sedikit gugup.
“saya
belum sunat pak”, glek, aku kemudian menyesal dengan apa yang kukatakan,
menepuk mulutku sendiri, tentu saja kenyataannya tidak begitu. Remaja tanggung
yang berdiri di sebelahku kemudian tertawa, tapi lalu ditahannya saat aku
menoleh dan agak heran melihatnya tertawa. Bapak tua tadi hanya
tersenyum-senyum lalu mengangguk-angguk beralih untuk memposisikan diri sebagai
imam shalat.
***
Sesampainya
di rumah aku segera menghampiri meja makan. Perutku sudah terlalu lapar untuk
menyisihkan waktu mandi. Apalagi mencium aroma masakan ibu, tak sanggup jika
harus menunggu selesai mandi, lagipula saat paling nikmat menyantap makanan
adalah saat perut dalam kondisi lapar.
“Kakak
ini jelek, gimana mau punya pacar, mandi aja nggak mau”, celetuk Mega.
“Hey
gendut, darimana kamu tahu soal pacaran? masih kecil udah tahu begituan”
“kata
Jodi Kakaknya udah punya pacar, aku tanya sama dia, pacar itu apa, katanya
pacar itu seperti Ayah sama Ibu”, Jodi anak tetangga kami sekaligus teman
sekolah Mega. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.