BAB DUA

Rabu, 20 Juni 2012

Semburat merah langit Jakarta
             Sore selepas bermain futsal aku pulang kerumah. Aku selalu ingat untuk sarapan dan makan malam dirumah, masakan Ibu tidak ada yang menandingi. Ibu selalu bisa membuatku sedemikian rupa merindukannya. Kuharap gadisku nanti akan seperti Ibu, lagi-lagi mengkhayal, mungkin karena sekian lama menjomblo, aku tertawa sendiri.
            “mas, bannya kempes”, seseorang menegurku. Seorang lelaki tua bervespa warna merah delima.
            “oh iya pak terima kasih”, aku baru menyadari motorku agak goyang dikendarai. Lelaki tua tadi kemudian mendahuluiku. Aku menepi, mencari bengkel dijalan-jalan yang kulalui, dan bertanya-tanya pada orang. Hari sudah sore, semburat mega mulai tampak.
            “di dekat musola di gang sana ada mas, mas lurus aja, trus ada apotik didepan gangnya, apotik sehat namanya mas, gak jauh masuk ke gang ada musola, nah dideket situ ada bengkel mas”, ujar seseorang yang kutanyai. Setelah mengucapkan terima kasih aku mengikuti arahan dari orang tadi. Jalanan seperti biasa selalu ramai tapi tidak macet. Aku masuk ke gang yang dimaksud orang tadi sambil terus mendorong motorku, hanya berjarak beberapa rumah aku sudah menemukan mushola yang dimaksud, dan langsung menemukan bengkel yang hanya berjarak 2 rumah saja dari musola itu. Aku langsung membawa motorku ke bengkel, sambil menunggu aku melihat-lihat sekitar, kulihat vespa warna merah delima diparkir di halaman mushola. Kupandangi vespa itu, menarik. Sepertinya pemiliknya adalah bapak tua yang tadi menegurku karena ban motorku kempes, hatiku tergerak untuk melihatnya lebih dekat. Aku mengamati vespa itu hingga tak sadar seseorang berdiri di dekatku.
            “Assalamu’alaikum”, aku mengangkat kepalaku yang tengah mengamati motor tadi. Setengah terkejut melihat pemilik suara ternyata bapak tua tadi.
            “maaf pak, saya hanya melihat-lihat”, ujarku tanpa menyahut salamnya.
            “iya, iya, tidak apa-apa, motor ini memang tua tapi masih dalam kondisi baik”, ujarnya tanpa ditanyai sembari tangannya menepuk-nepuk pelan bagian kepala motornya.
            “iya, kelihatan sekali bapak merawatnya dengan baik”, aku mengiyakan sambil masih memperhatikan. Tiba-tiba adzan berkumandang dari speaker masjid, semburat mega merah kelihatan megah, mempesona. Bapak tua itu menepuk pundakku.
            “Baiknya kita shalat dulu, nanti bisa kita lanjutkan lagi”, aku menoleh sebentar ke bengkel, ban motorku pasti sudah selesai diganti, tak butuh waktu lama. Tapi ajakan Bapak tua ini mempesonaku, entah karena semburat merah langit Jakarta sore ini atau apapun aku akhirnya mengiyakan, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melakukan ini.

Lamat-lamat ku amati sekitar, sepi. Musola ini kecil, dan hanya ada kami berlima di dalamnya, aku, Bapak tua tadi, seorang remaja usia belasan tahun yang kuduga mengumandangkan adzan tadi, seorang anak kecil perempuan dan Ibunya. Tapi bisa kulihat Mushola ini bersih, terawat setidaknya ini berarti masih ada orang-orang yang bersedia menghidupkan mushola kecil seperti ini.
            “Silahkan nak”, bapak tadi mempersilahkanku maju ke depan dan menjadi imam shalat. Aku terbengong-bengong dan sedikit gugup. 
            “saya belum sunat pak”, glek, aku kemudian menyesal dengan apa yang kukatakan, menepuk mulutku sendiri, tentu saja kenyataannya tidak begitu. Remaja tanggung yang berdiri di sebelahku kemudian tertawa, tapi lalu ditahannya saat aku menoleh dan agak heran melihatnya tertawa. Bapak tua tadi hanya tersenyum-senyum lalu mengangguk-angguk beralih untuk memposisikan diri sebagai imam shalat.
***
            Sesampainya di rumah aku segera menghampiri meja makan. Perutku sudah terlalu lapar untuk menyisihkan waktu mandi. Apalagi mencium aroma masakan ibu, tak sanggup jika harus menunggu selesai mandi, lagipula saat paling nikmat menyantap makanan adalah saat perut dalam kondisi lapar.
            “Kakak ini jelek, gimana mau punya pacar, mandi aja nggak mau”, celetuk Mega.
            “Hey gendut, darimana kamu tahu soal pacaran? masih kecil udah tahu begituan”
        “kata Jodi Kakaknya udah punya pacar, aku tanya sama dia, pacar itu apa, katanya pacar itu seperti Ayah sama Ibu”, Jodi anak tetangga kami sekaligus teman sekolah Mega. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

BAB DUA

·

Semburat merah langit Jakarta
             Sore selepas bermain futsal aku pulang kerumah. Aku selalu ingat untuk sarapan dan makan malam dirumah, masakan Ibu tidak ada yang menandingi. Ibu selalu bisa membuatku sedemikian rupa merindukannya. Kuharap gadisku nanti akan seperti Ibu, lagi-lagi mengkhayal, mungkin karena sekian lama menjomblo, aku tertawa sendiri.
            “mas, bannya kempes”, seseorang menegurku. Seorang lelaki tua bervespa warna merah delima.
            “oh iya pak terima kasih”, aku baru menyadari motorku agak goyang dikendarai. Lelaki tua tadi kemudian mendahuluiku. Aku menepi, mencari bengkel dijalan-jalan yang kulalui, dan bertanya-tanya pada orang. Hari sudah sore, semburat mega mulai tampak.
            “di dekat musola di gang sana ada mas, mas lurus aja, trus ada apotik didepan gangnya, apotik sehat namanya mas, gak jauh masuk ke gang ada musola, nah dideket situ ada bengkel mas”, ujar seseorang yang kutanyai. Setelah mengucapkan terima kasih aku mengikuti arahan dari orang tadi. Jalanan seperti biasa selalu ramai tapi tidak macet. Aku masuk ke gang yang dimaksud orang tadi sambil terus mendorong motorku, hanya berjarak beberapa rumah aku sudah menemukan mushola yang dimaksud, dan langsung menemukan bengkel yang hanya berjarak 2 rumah saja dari musola itu. Aku langsung membawa motorku ke bengkel, sambil menunggu aku melihat-lihat sekitar, kulihat vespa warna merah delima diparkir di halaman mushola. Kupandangi vespa itu, menarik. Sepertinya pemiliknya adalah bapak tua yang tadi menegurku karena ban motorku kempes, hatiku tergerak untuk melihatnya lebih dekat. Aku mengamati vespa itu hingga tak sadar seseorang berdiri di dekatku.
            “Assalamu’alaikum”, aku mengangkat kepalaku yang tengah mengamati motor tadi. Setengah terkejut melihat pemilik suara ternyata bapak tua tadi.
            “maaf pak, saya hanya melihat-lihat”, ujarku tanpa menyahut salamnya.
            “iya, iya, tidak apa-apa, motor ini memang tua tapi masih dalam kondisi baik”, ujarnya tanpa ditanyai sembari tangannya menepuk-nepuk pelan bagian kepala motornya.
            “iya, kelihatan sekali bapak merawatnya dengan baik”, aku mengiyakan sambil masih memperhatikan. Tiba-tiba adzan berkumandang dari speaker masjid, semburat mega merah kelihatan megah, mempesona. Bapak tua itu menepuk pundakku.
            “Baiknya kita shalat dulu, nanti bisa kita lanjutkan lagi”, aku menoleh sebentar ke bengkel, ban motorku pasti sudah selesai diganti, tak butuh waktu lama. Tapi ajakan Bapak tua ini mempesonaku, entah karena semburat merah langit Jakarta sore ini atau apapun aku akhirnya mengiyakan, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melakukan ini.

Lamat-lamat ku amati sekitar, sepi. Musola ini kecil, dan hanya ada kami berlima di dalamnya, aku, Bapak tua tadi, seorang remaja usia belasan tahun yang kuduga mengumandangkan adzan tadi, seorang anak kecil perempuan dan Ibunya. Tapi bisa kulihat Mushola ini bersih, terawat setidaknya ini berarti masih ada orang-orang yang bersedia menghidupkan mushola kecil seperti ini.
            “Silahkan nak”, bapak tadi mempersilahkanku maju ke depan dan menjadi imam shalat. Aku terbengong-bengong dan sedikit gugup. 
            “saya belum sunat pak”, glek, aku kemudian menyesal dengan apa yang kukatakan, menepuk mulutku sendiri, tentu saja kenyataannya tidak begitu. Remaja tanggung yang berdiri di sebelahku kemudian tertawa, tapi lalu ditahannya saat aku menoleh dan agak heran melihatnya tertawa. Bapak tua tadi hanya tersenyum-senyum lalu mengangguk-angguk beralih untuk memposisikan diri sebagai imam shalat.
***
            Sesampainya di rumah aku segera menghampiri meja makan. Perutku sudah terlalu lapar untuk menyisihkan waktu mandi. Apalagi mencium aroma masakan ibu, tak sanggup jika harus menunggu selesai mandi, lagipula saat paling nikmat menyantap makanan adalah saat perut dalam kondisi lapar.
            “Kakak ini jelek, gimana mau punya pacar, mandi aja nggak mau”, celetuk Mega.
            “Hey gendut, darimana kamu tahu soal pacaran? masih kecil udah tahu begituan”
        “kata Jodi Kakaknya udah punya pacar, aku tanya sama dia, pacar itu apa, katanya pacar itu seperti Ayah sama Ibu”, Jodi anak tetangga kami sekaligus teman sekolah Mega. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

Rabu, 20 Juni 2012

BAB DUA


Semburat merah langit Jakarta
             Sore selepas bermain futsal aku pulang kerumah. Aku selalu ingat untuk sarapan dan makan malam dirumah, masakan Ibu tidak ada yang menandingi. Ibu selalu bisa membuatku sedemikian rupa merindukannya. Kuharap gadisku nanti akan seperti Ibu, lagi-lagi mengkhayal, mungkin karena sekian lama menjomblo, aku tertawa sendiri.
            “mas, bannya kempes”, seseorang menegurku. Seorang lelaki tua bervespa warna merah delima.
            “oh iya pak terima kasih”, aku baru menyadari motorku agak goyang dikendarai. Lelaki tua tadi kemudian mendahuluiku. Aku menepi, mencari bengkel dijalan-jalan yang kulalui, dan bertanya-tanya pada orang. Hari sudah sore, semburat mega mulai tampak.
            “di dekat musola di gang sana ada mas, mas lurus aja, trus ada apotik didepan gangnya, apotik sehat namanya mas, gak jauh masuk ke gang ada musola, nah dideket situ ada bengkel mas”, ujar seseorang yang kutanyai. Setelah mengucapkan terima kasih aku mengikuti arahan dari orang tadi. Jalanan seperti biasa selalu ramai tapi tidak macet. Aku masuk ke gang yang dimaksud orang tadi sambil terus mendorong motorku, hanya berjarak beberapa rumah aku sudah menemukan mushola yang dimaksud, dan langsung menemukan bengkel yang hanya berjarak 2 rumah saja dari musola itu. Aku langsung membawa motorku ke bengkel, sambil menunggu aku melihat-lihat sekitar, kulihat vespa warna merah delima diparkir di halaman mushola. Kupandangi vespa itu, menarik. Sepertinya pemiliknya adalah bapak tua yang tadi menegurku karena ban motorku kempes, hatiku tergerak untuk melihatnya lebih dekat. Aku mengamati vespa itu hingga tak sadar seseorang berdiri di dekatku.
            “Assalamu’alaikum”, aku mengangkat kepalaku yang tengah mengamati motor tadi. Setengah terkejut melihat pemilik suara ternyata bapak tua tadi.
            “maaf pak, saya hanya melihat-lihat”, ujarku tanpa menyahut salamnya.
            “iya, iya, tidak apa-apa, motor ini memang tua tapi masih dalam kondisi baik”, ujarnya tanpa ditanyai sembari tangannya menepuk-nepuk pelan bagian kepala motornya.
            “iya, kelihatan sekali bapak merawatnya dengan baik”, aku mengiyakan sambil masih memperhatikan. Tiba-tiba adzan berkumandang dari speaker masjid, semburat mega merah kelihatan megah, mempesona. Bapak tua itu menepuk pundakku.
            “Baiknya kita shalat dulu, nanti bisa kita lanjutkan lagi”, aku menoleh sebentar ke bengkel, ban motorku pasti sudah selesai diganti, tak butuh waktu lama. Tapi ajakan Bapak tua ini mempesonaku, entah karena semburat merah langit Jakarta sore ini atau apapun aku akhirnya mengiyakan, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melakukan ini.

Lamat-lamat ku amati sekitar, sepi. Musola ini kecil, dan hanya ada kami berlima di dalamnya, aku, Bapak tua tadi, seorang remaja usia belasan tahun yang kuduga mengumandangkan adzan tadi, seorang anak kecil perempuan dan Ibunya. Tapi bisa kulihat Mushola ini bersih, terawat setidaknya ini berarti masih ada orang-orang yang bersedia menghidupkan mushola kecil seperti ini.
            “Silahkan nak”, bapak tadi mempersilahkanku maju ke depan dan menjadi imam shalat. Aku terbengong-bengong dan sedikit gugup. 
            “saya belum sunat pak”, glek, aku kemudian menyesal dengan apa yang kukatakan, menepuk mulutku sendiri, tentu saja kenyataannya tidak begitu. Remaja tanggung yang berdiri di sebelahku kemudian tertawa, tapi lalu ditahannya saat aku menoleh dan agak heran melihatnya tertawa. Bapak tua tadi hanya tersenyum-senyum lalu mengangguk-angguk beralih untuk memposisikan diri sebagai imam shalat.
***
            Sesampainya di rumah aku segera menghampiri meja makan. Perutku sudah terlalu lapar untuk menyisihkan waktu mandi. Apalagi mencium aroma masakan ibu, tak sanggup jika harus menunggu selesai mandi, lagipula saat paling nikmat menyantap makanan adalah saat perut dalam kondisi lapar.
            “Kakak ini jelek, gimana mau punya pacar, mandi aja nggak mau”, celetuk Mega.
            “Hey gendut, darimana kamu tahu soal pacaran? masih kecil udah tahu begituan”
        “kata Jodi Kakaknya udah punya pacar, aku tanya sama dia, pacar itu apa, katanya pacar itu seperti Ayah sama Ibu”, Jodi anak tetangga kami sekaligus teman sekolah Mega. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.