Pemuda Pelukis Senja

Kamis, 27 Januari 2011

Oleh: Erni Susanti

Ia duduk disebuah jembatan yang menghubungkan petak-petak sawah, kakinya dibiarkannya menggantung menyentuh air yang warnanya agak kemerahan seperti teh. Jembatan pendek itu kuat berada diatas sebuah parit yang lumayan besar. Di sebelahnya berdiri Runo teman sekelasnya dibangku perkuliahan. Tangannya bertumpu diatas pahanya dengan jari jemari saling berkaitan seolah saling menguatkan, dan tubuhnya agak condong kedepan.
Padi yang hijau masih basah karena embun pagi, seperti juga ia yang basah karena tetesan embun, tapi tak ia perdulikan pagi yang dingin itu menyergap-nyergap tubuhnya. Ia sudah akrab dengan kondisi demikian, kesenangannya terhadap alam membuat alam seolah telah menjadikannya teman.
“Ayo kita balik”, ajak Runo.
“kamu duluan aja, saya masih mau disini”, sahutnya, Runo tak heran, karena selama ini temannya itu memang menyukai kesendirian. Runo pun tak mengerti apa yang difikirkan lelaki sebayanya itu. Bahasa bicaranya memang selalu demikian, saat pertama kali mengenalnya diapun selalu begitu, selalu menggunakan kata ‘saya’, dengan orang terdekat sekalipun.
“ya udah aku balik duluan, aku dah laper, Mak Ijah pasti udah masak nih”, ujar Runo. Ia hanya mengangguk-angguk tak terpengaruh dengan kata-kata Runo barusan.
Tubuhnya menghadap ke arah timur, menghadap matahari pagi yang mulai naik. Matanya sedikit-sedikit mulai menyipit karena matahari yang mulai memaksa matanya untuk terpejam tak mampu menatapnya langsung. Sudah sejak selesai shalat subuh mereka turun dari rumah Mufid untuk jalan-jalan di areal perpetakan sawah yang terkenal didaerah itu. Letaknya memang di kampung halaman Mufid, sehingga mereka sekelompok pemuda yang punya hobi traveling bersama-sama mengunjungi daerah itu. Penat berhari-hari memperjuangkan kebenaran di kampus, lalu hampir di DO, tapi keputusan itu masih menggantung, dan diakhir pekan mereka berada disini.
“Eh Ruq! ngapain kamu disini?”, tanya Mufid yang menghampirinya dengan sedikit berlari.
“merenung aja, kamu kayak nggak kenal saya aja”, sahutnya dengan alis saling bertaut karena tak mampu menantang matahari. Kedua alisnya yang memang hampir menyatu itu semakin disatukan oleh matahari. Mufid mengambil posisi duduk disampingnya.
“kata-kata apa yang kamu punya?”, tanya Mufid.
“Saya ingin menantang matahari, apa saya masih sanggup”, sahut Faruq. Runo mencibir.
“kamu nih ada-ada aja, kamu mau nantang yang nggak mungkin, yang realistis aja”, seru Mufid. Faruq tergelak.
“ketawa lagi tuh”, ujar Mufid.
“enggak, kalau saya nantangin Tuhan iya baru nggak mungkin, saya nggak menantang untuk menang kok, Cuma mengukur seberapa besar keberanian saya”, sahut Faruq.
“gimana nasib kuliah kamu selanjutnya ruq?”, tanya Mufid mengganti topik pembicaraan mereka yang tak jelas tadi.
“kamu khawatir?”, tanya Faruq.
“enggak, aku santai aja sih, malah pengen ketawa terus, abis lucu banget sih, ya iyyalah ruq, aku mikir aja kalau sampai kamu di DO gimana, kamu kan temen aku, saudara aku”, jawab Mufid sekenanya tapi bermaksud serius.
“kamu tenang aja, saya udah siap dengan segala konsekuensinya, saya yakin yang kita perjuangkan nggak akan sia-sia, bagaimana saya nanti saya juga yakin bisa saya atasi, meskipun saya harus kehilangan almamater saya tidak masalah, asalkan saya sudah pernah berbuat sesuatu untuk kampus, sekalipun itu tidak berarti besar bagi orang lain, terima kasih karena kamu dan teman-teman mau ikut andil waktu itu”, Mufid semakin kagum pada sahabatnya itu.
“aku bangga pernah mengenal kamu ruq, walaupun kalau udah ngomong sama kamu selalu aja kamu nggak punya kendali untuk berhenti, tapi aku bangga, kamu sekuat ini, kami gentar karena permasalahan ini, padahal kami tidak sampai terancam di DO, tapi kamu yang nyata-nyata hampir di DO malah bisa berkata seperti ini”, ujar Mufid..
“kamu ini apa-apaan fid, gitu aja kok jangan berlebihan, ya udah kita pulang aja, saya udah lapar ni, selesai perenungannya”, ujar Faruq sambil menepuk-nepuk bahu Mufid.

***
Isu dikampus sebenarnya sedang menguap-nguap, hanya tak banyak yang tahu karena memang tidak pernah mau tahu. Hanya segelintir orang yang perduli apa kabar kampus hari itu. Sekedar tahu saja bahkan tak cukup.
Faruq dan teman-teman seperkumpulannya mengorek isu ini. Seolah-olah telah menjadi kewajaran, kejahatan dibenarkan. Entah itu di anggap atau tidak, Faruq merasa kampus adalah Indonesia kecilnya, disana ada sebuah pemerintahan, organisasi dan masyarakat. Hatinya menjadi tidak tenang melihat yang tak benar menjadi sebuah kebenaran yang salah. Ada orang-orang yang menumpuk uang dibalik perut gendutnya, diam-diam saja, dan menjadi rahasia bagi dirinya dan orang-orang terkait saja.
Bukan tanpa alasan isu ini menguak, tidak ada keburukan yang kekal tertutupi, semua akan terbuka dengan sendirinya jika tak mau membuka diri.
“Bang, Rini ada cerita nih”, seru Rini pada Runo, abang kandungnya yang 3 tahun lebih tua darinya. Mereka kuliah disatu universitas dan satu fakultas pula, hanya saja berbeda program.
“ada apa?”, Runo seorang pendengar yang baik, adiknya seseorang yang sangat terbuka, apapun diceritakannya pada Runo, sekalipun seringkali ia bercerita hal yang tak penting.
“kemarin nih, Rini ketemu sama orang bang, trus orang itu bilang kalo dia dulu kuliah dikampus kita juga bang, udah kerja sih sekarang, dia cerita kalo dia dulu kuliah nggak pernah bayar semesteran lo bang, keren ya”,
“wah bagus tu Rin, beasiswa dong”, sahutnya.
“emm kata dia sih gitu, dia bilang gampang dapetnya, lobi aja ama Bang Fahmi, abang itu bilang dulu sih ngasi 10% sama dia trus dapet deh, yah buat upah ngurusin lah gitu katanya”.
“Bang Fahmi?”, Runo sontak kaget. Rini mengangguk-angguk dengan wajah datar. Entah sadar atau tidak ia sedang menyimpan sesuatu yang besar.
“trus dia bilang apa lagi?”, tanya Runo.
“trus dia bilang kalo aku mau, dia mau bantu ngurusin soalnya dia udah deket sama bang Fahminya”, ujar Rini.
“kamu jawab apa Rin?”, tanya Runo penasaran, tapi wajah Rini seolah menceritakan kelahiran anak kucingnya.
“aku bilang entar aja, soalnya aku fikir aku harus izin sama abang dulu, kan disini kita anak rantau, abang yang jagain aku, jadi aku harus konsultasi dulu sama abang”, Runo mengelus kepala Rini. Bagaimanapun Rini sangat menghormati Runo.
“kamu udah pernah ceritain ini ke orang?”, tanya Runo.
“belum, sama abang doang kok, aku tahu, pasti abang suruh diem-diem”,lanjut Rini.

***
Mendengar itu Runo bergegas pergi ke kampus, mencari orang yang dirasanya tepat mendengarkan cerita tentang hal tadi.
Runo menemukannya sedang berada di musola usai shalat dzuhur. Ia seperti biasanya sedang sendiri, menyandarkan punggungnya di tembok mushola kecil itu, tapi kali ini dengan buku ditangannya, matanya fokus pada tulisan-tulisan dalam buku itu. Faruq memang senang membaca, tak hanya itu ia juga punya bakat menulis. Kecintaannya pada kata-kata membuatnya semakin menggilai buku-buku, dan itu menambah pemahamannya pada banyak hal. Faruq sampai tak sadar Runo sudah berada dihadapannya.
“Ruq, serius banget kamu sampe nggak sadar ada aku disini”, ujar Runo sambil mengambil posisi duduk disamping Faruq dan menepuk-nepuk bahunya. Faruq tersenyum dan menutup bukunya setelah sebelumnya diberi batas bacaan.
“maaf, ada apa Run kamu kok tiba-tiba kesini, ada sesuatu yang mau kamu omongkan?”, tanya Faruq. Runo mengangguk dengan wajah serius. Masalah ini memang bukan masalah biasa bagi Runo, baginya jika permasalahan ini dibiarkan akan menjadi jamur, dan baginya ini adalah perihal dirinya, mahasiswa, bangsa dan negeri ini. Banyak pemuda yang mungkin tak lagi perduli akan negeri ini, segala isu negeri ini hanya sebuah cerita tak penting dan bukan menjadi urusannya, biarkan pemerintah yang bertindak. Baginya mahasiswa adalah pengawal pemerintahan, mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah, meski itu hanya menjadi kesadaran segelintir mahasiswa.
Diceritakannya kejadian yang dialami adiknya beberapa waktu lalu, Faruq mengangguk-angguk, ia menyimak dengan serius.
“saya sebenarnya udah dengar masalah ini, DPM juga sudah minta bantuan sama BEM karena setelah diklarifikasi malah menemui jalan buntu, ini bahkan memang sudah jadi rahasia umum, saya sedang coba mengorek-ngorek kebenaran isu ini, dan sekarang malah ada informasi seperti ini jadi semakin jelas rasanya, memang harus ada yang dilakukan Run, secepatnya kita akan adakan rapat”, tanya Faruq.
“iya ruq, aku jujur aja kecewa sekali mendengarnya, persoalan ini sudah dianggap bukan masalah, ini kan bahaya, nanti sedikit banyak akan berpengaruh sama mahasiswanya, bisa-bisa hal kayak gini diikutin, padahal hak kita sedang terjajah, mau jadi apa negeri ini ruq kalau hal seperti ini dibenarkan”, ujar Runo berapi-api. Faruq memintanya untuk tetap tenang dan memikirkan langkah apa yang harusnya mereka lakukan. Mereka saling berdiskusi, tapi dalam berdiskusi antara Runo dengan Faruq perbandingannya 10:1000, 10 kata dari Runo akan menimbulkan 1000 kalimat dari Faruq, Faruq memang sangat senang berbicara, kadang-kadang juga keluar dari jalurnya, dan sulit menghentikannya bicara, unik.

***
Faruq lebih serius memperbincangkan hal ini dengan teman-teman yang dirasanya perduli dan ingin berbuat sesuatu. Faruq adalah presiden mahasiswa di kampus saat itu bekerja sama dengan DPM mereka mengusut kasus ini, dimulai dengan mencari informasi lebih banyak terkait hal ini, dan bertanya pada dosen, walaupun seringkali mendapat sambutan tidak baik mereka tetap mencari tahu, dan saat informasi terkumpul, mereka mulai berfikir, sepertinya memang dari pihak Fakultas tidak mendukung apa yang mereka lakukan, bahkan terkesan menghalang-halangi. Hal ini juga sudah mereka coba bicarakan dengan dekan, tetapi justru sambutan yang tidak baik yang mereka dapat, mereka dianggap mencoreng nama fakultas, isu ini memang beredar tidak hanya dilingkungan fakultas saja, bahkan sampai diketahui pihak Universitas.
“Sepertinya usaha kita tidak mendapat respon yang baik, kita sudah coba berbagai cara, kita sudah coba klarifikasi dengan pihak-pihak terkait, bahkan dengan dekan, kita juga coba singgung masalah ini dengan media-media yang ada dikampus, tapi kita menemui jalan buntu, jadi jalan terakhir menurut saya kita perlu mengadakan aksi”, seru Mufid sebagai pejabat menteri Sospolad saat itu dalam agenda rapat DPM dan BEM yang mereka adakan karena permasalahan yang mereka hadapi saat itu. Beberapa menjadi riuh saat itu dan beberapa orang yang lain tampak berfikir keras mengenai pendapat Mufid. Monik mengangkat tangannya menunjukkan bahwa dirinya ingin membuka suara. Doni, ketua DPM yang memimpin rapat saat itu meminta agar peserta rapat menenangkan diri.
“tapi ini akan membahayakan kita, dari awal saya lihat saat kita mulai mengorek-ngorek masalah ini saja kita sudah disambut dengan tidak baik, bisa-bisa kita di DO, apalagi waktu menemui dekan, karena saya saat itu juga ikut, jadi saya tahu persis dekan sangat tersinggung saat itu, saya rasa dan saya perkirakan kalau kita tetap melakukan aksi, dekan tidak akan segan-segan merekomendasikan ke rektor untuk mendrop out kita”, seru Monik perwakilan dari DPM. Dalam rapat itu mereka terpecah menjadi tiga golongan, golongan yang pro terhadap usulan Mufid, golongan yang kontra, dan golongan ketiga yang tidak tahu harus berbuat apa hanya diam saja.
“kita voting saja”, ujar Doni. Mereka segera melakukan voting agar hasil yang didapat bisa disepakati bersama. Ternyata hasil yang didapat lebih dominan untuk melakukan aksi. Monik dan beberapa diantara mereka tampak kecewa, lalu terlihat berbisik sebentar.
“hasil yang didapat ternyata kita tetap melakukan aksi, dan saya harap hasil voting ini menjadi kesepakatan kita bersama”, ujar Doni.
“maaf Don, juga teman-teman yang lain, saya dan beberapa teman-teman nggak setuju, saya tidak mau mengambil resiko untuk sampai harus kehilangan almamater saya karena masalah ini, karena itu sekarang saya putuskan untuk tidak terlibat dalam masalah ini”, ujar Monik. Runo terkejut mendengar penuturan Monik.
“kalau begitu sebaiknya anda keluar saja dari DPM, untuk apa anda ada di DPM kalau anda tidak terlibat dalam perjuangan ini”, Runo berang. Faruq menenangkan Runo.
“saya juga tidak keberatan untuk itu, hargai dong keputusan saya, kamu nggak usah khawatir, sore ini juga saya akan ajukan surat pengunduran diri saya”, ujar Monik pada Runo.
“saya permisi teman-teman”, ujar Monik sambil beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangan diikuti beberapa temannya.

***
Hari itu aktivis-aktivis kampus terutama dari lembaga DPM dan BEM turun lapangan menggelar aksi terkait ketidak jelasan alur beasiswa di halaman kampus. Faruq memimpin aksi itu, ia berdiri sebagai orator disana. Perkuliahan hari itu terganggu, saat orasi itu digelar, seluruh dosen-dosen yang berada dikampus bahkan yang sedang mengajar keluar melihat kejadian yang tidak mereka duga sebelumnya. Mereka terlihat kalang kabut dan masuk kembali keruangan, sepertinya diadakan rapat dadakan. Doni mencari tahu ke dalam gedung itu, melihat dari pintu ruangan yang terdapat kaca dipintunya, ternyata memang benar, para dosen dan staf mengadakan rapat dadakan. Tapi dilihatnya dekan tidak ada diruangan tersebut.
“kamu ngapain disini? Mau nguping rapat dosen? Iya? Ikut saya keluar sekarang”, Dekan tiba-tiba sudah berada dihadapannya tanpa ia sadari. Doni terkejut dan ikut saja apa kata dekan tersebut. Saat tiba diluar Doni kembali bergabung dengan yang lain. Dekan sudah kelihatan sangat berang, tak pernah semarah ini sebelumnya. Dilihatnya Faruq dengan mata yang penuh amarah.
“jadi kamu kepalanya ya? Sudah saya katakan dari awal jangan ungkit hal ini, karena hal ini tidak benar dan mencoreng nama baik fakultas”, ujar dekan.
“beri kami klarifikasi yang jelas pak, kami perlu bukti untuk masalah ini, kami tidak mau hak-hak kami dijajah, dan membiarkan yang tidak benar terus berjalan dikampus kita! Kalau memang apa yang kami pertanyakan selama ini tidak benar, buktikan pada kami Pak!”, seru Faruq.
“selama ini kami sudah coba jalur advokasi, tetapi tidak mendapat respon yang baik, dengan alasan itu kami ada disini Pak”, lanjut yang lain saling mendukung.
“Kamu....”, dekan menunjuk-nunjuk Faruq dengan geram. Wajar jika kemarahan dekan tertuju pada Faruq karena selama ini Faruq yang paling getol mengorek masalah ini.
“Kamu akan saya DO dari kampus ini! Keluar kamu dari kampus ini sekarang!”, wajah dekan memerah, tangannya memegangi dadanya, beliau tampak kesakitan, Faruq beranjak mencoba menolong tapi tangannya ditepis oleh Pak Erlangga, dekan fakultas dimana ia belajar. Pak Erlangga kemudian jatuh pinsan. Mereka bergegas membawa dekan ke rumah sakit.

***
Tidak sedikit yang kemudian menyalahkan Faruq karena kejadian ini, tapi Faruq berusaha memegang teguh apa yang menjadi tujuannya. Meski dugaan Monik ternyata benar-benar terjadi paling tidak ia merasa sedikit lega, karena ancaman itu ditujukan hanya untuk dirinya. Saat mereka berada di rumah Mufid, pak Erlangga masih berada dirumah sakit. Namun keadaannya sudah mulai membaik, dan menurut kabar yang santer terdengar aksi yang digelar oleh Faruq dan teman-temannya beberapa waktu lalu akan ditindak lanjuti, dan terutama Faruq yang dianggap memprovokasi terancam di drop out.
Doni menepuk bahu Faruq yang sedang duduk di pelataran rumah Mufid. Doni duduk disampingnya. Terdengar bunyi jangkrik saling bersahut-sahutan, sudah jam 21.00 malam, jalanan di perkampungan tempat tinggal Mufid sudah sepi. Mereka berdua saja dipelataran. Mufid, Runo dan Syafi ada di dalam rumah berbincang dengan Mak Ijah, Ibu Mufid.
“kamu kok seneng sekali menyendiri sih ruq, apa yang sebenernya kamu fikirin?”, tanya Doni.
“apa kamu sedang mikirin ancaman dekan kemaren itu?”, lanjutnya
“kalau memang itu yang kamu fikirkan, kamu tenang saja, aku dan temen-temen pasti bantu kamu untuk menyelesaikan masalah ini, saya udah konfirmasi ke DPM fakultas tentang permasalahan kampus kita, dan mereka sedang membawa masalah ini ke universitas, kita tunggu kabar dari mereka lagi, karena mereka minta kita untuk menunggu dulu”, lanjut Doni tanpa membiarkan Faruq menjawab pertanyaannya terlebih dahulu.
“saya tahu temen-temen pasti bantu saya, trima kasih Don, tapi saya suka menyendiri sudah dari dulu kok, bukan baru-baru ini saja, saya Cuma merenung saja, saya suka cari inspirasi, besok pagi kita pulang Don, kita istirahat aja, perjalanan besok pasti menghabiskan tenaga”, ajak Faruq.

***
Setelah kepulangan mereka mahasiswa lain yang tadinya tidak perduli rupanya juga penasaran akan kelanjutan kisah aktivis kampus itu. Kabar itu memang dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut, banyak respon yang didapat, bermacam-macam.
“Makanya disuruh kuliah malah demo-demo, gitu deh akibatnya”, komentar yang mencibir perjuangan mereka. Ada juga beberapa yang turut mendoakan agar masalah segera terselesaikan dengan baik.
Faruq mendapat panggilan dari dekan, rupanya beliau sudah sembuh. Sekuat mungkin ia berusaha tenang, ia hanya berfikir apapun yang terjadi nanti semoga usahanya membuahkan hasil, kalaupun ia harus benar-benar di drop out itu adalah sebuah pengorbanan untuk sebuah perjuangan yang mereka lakukan.
Faruq duduk dengan tenang diruangan dekan, berhadapan dengan beliau dengan perasaan tak jelas.
“kamu tentunya sudah faham apa alasan saya memanggil kamu kesini”, ujar beliau sambil berdiri dari duduknya dan berjalan disekitar tempat Faruq duduk. Faruq mengangguk tetap pada posisinya.
“kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan itu sudah mencoreng nama baik Fakultas ini, bahkan Universitas”, lanjut beliau.
“saya melakukan itu semua karena alasan-alasan yang bisa saya pertanggung jawabkan”, sahut Faruq.
“saya sudah dengar alasan-alasan kamu waktu itu, kamu tidak perlu menjelaskan lagi”,
“saya minta maaf memancing emosi bapak sampai bapak jatuh sakit, bukan maksud saya pak ...”,
“saya tahu itu, tidak perlu kamu jelaskan”, Pak Erlangga memotong kata-kata Faruq dengan nada datar, tapi tak mengurangi wibawanya.
“saya memanggil kamu karena saya ingin mengucapkan terima kasih, kalian sudah menjalankan tugas kalian dengan benar”, Faruq terkejut, ia langsung menghadap kearah Pak Erlangga. Faruq tak ingin bertanya mengapa, karena ia amat yakin ini adalah pertolongan Allah, selalu ada pertolongan tak terduga darimana datangnya.
“Kemarin sewaktu saya dirumah sakit ada alumni dari sini menjenguk saya, dan dia menceritakan apa yang pernah ia lakukan semasa kuliah disini, menceritakan kong kali kongnya tentang alur beasiswa itu secara jujur, saya tidak serta merta percaya, saya minta rekan-rekan saya untuk menyelidiki ini, dan memang ada yang tidak beres, saya mulai membuka mata saya, selama ini saya mungkin kurang jeli melihat ketidak beresan ini, karena itu sekarang masalah ini sedang kami usut, dan saya mencabut kata-kata saya tentang ancaman drop out itu, kamu boleh bernafas lega sekarang”, ujar beliau. Faruq sama sekali tak mempunyai gambaran tentang siapa orang yang memberikan titik perubahan pada sudut pandang Pak Erlangga itu.
“dan mengenai siapa orang yang sudah menyelamatkan kamu itu, kamu tidak perlu tahu, ini menjadi rahasia saya dan orang itu, dia mendengar berita tentang kamu dan dia merasa perlu membela kamu, sehingga dia lakukan itu, kamu dapet salam dari dia, saya minta maaf untuk semua yang sudah terjadi antara kami dan kalian, pejuang kampus ini, sekarang kamu boleh keluar dari ruangan saya, terima kasih”, ujar Pak Erlangga. Faruq tersenyum puas, akhirnya usaha mereka menuai hasil. Hanya tinggal menunggu hasil, semuanya pasti terungkap.

***
Aku Rini, saksi dari perjuangan mereka, aku saat itu memang hanya seorang mahasiswa baru yang notabene belum begitu mengenal kampus, tapi abangku menceritakan banyak hal, dan aku juga antusias untuk lebih jauh mengenal kampusku, mengenalkanku tentang artinya menjadi seorang mahasiswa. Bagaimana seharusnya aku menjadi pemuda bangsa ini, aku sangat bangga pernah menjadi orang yang berada diantara mereka.
Setelah Pak dekan memanggil Faruq memang benar kasus itu diusut oleh pihak fakultas, meskipun alot karena tersusun amat rapi akhirnya masalah itu terungkap juga. Bang Fahmi dikeluarkan dari kampus karena terbukti menyalah gunakan amanahnya dengan menyelewengkan beasiswa itu kepada orang yang tidak berhak. Akhirnya sekarang semua menjadi stabil kembali, dan beasiswa sekarang selalu jatuh pada orang yang tepat.
Saat ini aku meneruskan perjuangan Bang Doni, menjalankan tugas sebagai Ketua DPM terpilih hingga setahun kedepan, meskipun aku seorang perempuan, dan dulu terkesan sangat polos, tapi aku banyak belajar untuk menjadi dewasa dan bertanggung jawab atas setiap ucapan dan perbuatanku. mereka semua sudah lulus dan memiliki kehidupan masing-masing, tapi masih tetap berjuang untuk negeri ini. Sejarahpun telah menuliskan nama mereka di kampus ini. Mereka adalah pelukis senja, menjadikannya berwarna saat matahari mulai tenggelam dan memberikan terang saat kegelapan mulai datang.

THE END

Pemuda Pelukis Senja

·

Oleh: Erni Susanti

Ia duduk disebuah jembatan yang menghubungkan petak-petak sawah, kakinya dibiarkannya menggantung menyentuh air yang warnanya agak kemerahan seperti teh. Jembatan pendek itu kuat berada diatas sebuah parit yang lumayan besar. Di sebelahnya berdiri Runo teman sekelasnya dibangku perkuliahan. Tangannya bertumpu diatas pahanya dengan jari jemari saling berkaitan seolah saling menguatkan, dan tubuhnya agak condong kedepan.
Padi yang hijau masih basah karena embun pagi, seperti juga ia yang basah karena tetesan embun, tapi tak ia perdulikan pagi yang dingin itu menyergap-nyergap tubuhnya. Ia sudah akrab dengan kondisi demikian, kesenangannya terhadap alam membuat alam seolah telah menjadikannya teman.
“Ayo kita balik”, ajak Runo.
“kamu duluan aja, saya masih mau disini”, sahutnya, Runo tak heran, karena selama ini temannya itu memang menyukai kesendirian. Runo pun tak mengerti apa yang difikirkan lelaki sebayanya itu. Bahasa bicaranya memang selalu demikian, saat pertama kali mengenalnya diapun selalu begitu, selalu menggunakan kata ‘saya’, dengan orang terdekat sekalipun.
“ya udah aku balik duluan, aku dah laper, Mak Ijah pasti udah masak nih”, ujar Runo. Ia hanya mengangguk-angguk tak terpengaruh dengan kata-kata Runo barusan.
Tubuhnya menghadap ke arah timur, menghadap matahari pagi yang mulai naik. Matanya sedikit-sedikit mulai menyipit karena matahari yang mulai memaksa matanya untuk terpejam tak mampu menatapnya langsung. Sudah sejak selesai shalat subuh mereka turun dari rumah Mufid untuk jalan-jalan di areal perpetakan sawah yang terkenal didaerah itu. Letaknya memang di kampung halaman Mufid, sehingga mereka sekelompok pemuda yang punya hobi traveling bersama-sama mengunjungi daerah itu. Penat berhari-hari memperjuangkan kebenaran di kampus, lalu hampir di DO, tapi keputusan itu masih menggantung, dan diakhir pekan mereka berada disini.
“Eh Ruq! ngapain kamu disini?”, tanya Mufid yang menghampirinya dengan sedikit berlari.
“merenung aja, kamu kayak nggak kenal saya aja”, sahutnya dengan alis saling bertaut karena tak mampu menantang matahari. Kedua alisnya yang memang hampir menyatu itu semakin disatukan oleh matahari. Mufid mengambil posisi duduk disampingnya.
“kata-kata apa yang kamu punya?”, tanya Mufid.
“Saya ingin menantang matahari, apa saya masih sanggup”, sahut Faruq. Runo mencibir.
“kamu nih ada-ada aja, kamu mau nantang yang nggak mungkin, yang realistis aja”, seru Mufid. Faruq tergelak.
“ketawa lagi tuh”, ujar Mufid.
“enggak, kalau saya nantangin Tuhan iya baru nggak mungkin, saya nggak menantang untuk menang kok, Cuma mengukur seberapa besar keberanian saya”, sahut Faruq.
“gimana nasib kuliah kamu selanjutnya ruq?”, tanya Mufid mengganti topik pembicaraan mereka yang tak jelas tadi.
“kamu khawatir?”, tanya Faruq.
“enggak, aku santai aja sih, malah pengen ketawa terus, abis lucu banget sih, ya iyyalah ruq, aku mikir aja kalau sampai kamu di DO gimana, kamu kan temen aku, saudara aku”, jawab Mufid sekenanya tapi bermaksud serius.
“kamu tenang aja, saya udah siap dengan segala konsekuensinya, saya yakin yang kita perjuangkan nggak akan sia-sia, bagaimana saya nanti saya juga yakin bisa saya atasi, meskipun saya harus kehilangan almamater saya tidak masalah, asalkan saya sudah pernah berbuat sesuatu untuk kampus, sekalipun itu tidak berarti besar bagi orang lain, terima kasih karena kamu dan teman-teman mau ikut andil waktu itu”, Mufid semakin kagum pada sahabatnya itu.
“aku bangga pernah mengenal kamu ruq, walaupun kalau udah ngomong sama kamu selalu aja kamu nggak punya kendali untuk berhenti, tapi aku bangga, kamu sekuat ini, kami gentar karena permasalahan ini, padahal kami tidak sampai terancam di DO, tapi kamu yang nyata-nyata hampir di DO malah bisa berkata seperti ini”, ujar Mufid..
“kamu ini apa-apaan fid, gitu aja kok jangan berlebihan, ya udah kita pulang aja, saya udah lapar ni, selesai perenungannya”, ujar Faruq sambil menepuk-nepuk bahu Mufid.

***
Isu dikampus sebenarnya sedang menguap-nguap, hanya tak banyak yang tahu karena memang tidak pernah mau tahu. Hanya segelintir orang yang perduli apa kabar kampus hari itu. Sekedar tahu saja bahkan tak cukup.
Faruq dan teman-teman seperkumpulannya mengorek isu ini. Seolah-olah telah menjadi kewajaran, kejahatan dibenarkan. Entah itu di anggap atau tidak, Faruq merasa kampus adalah Indonesia kecilnya, disana ada sebuah pemerintahan, organisasi dan masyarakat. Hatinya menjadi tidak tenang melihat yang tak benar menjadi sebuah kebenaran yang salah. Ada orang-orang yang menumpuk uang dibalik perut gendutnya, diam-diam saja, dan menjadi rahasia bagi dirinya dan orang-orang terkait saja.
Bukan tanpa alasan isu ini menguak, tidak ada keburukan yang kekal tertutupi, semua akan terbuka dengan sendirinya jika tak mau membuka diri.
“Bang, Rini ada cerita nih”, seru Rini pada Runo, abang kandungnya yang 3 tahun lebih tua darinya. Mereka kuliah disatu universitas dan satu fakultas pula, hanya saja berbeda program.
“ada apa?”, Runo seorang pendengar yang baik, adiknya seseorang yang sangat terbuka, apapun diceritakannya pada Runo, sekalipun seringkali ia bercerita hal yang tak penting.
“kemarin nih, Rini ketemu sama orang bang, trus orang itu bilang kalo dia dulu kuliah dikampus kita juga bang, udah kerja sih sekarang, dia cerita kalo dia dulu kuliah nggak pernah bayar semesteran lo bang, keren ya”,
“wah bagus tu Rin, beasiswa dong”, sahutnya.
“emm kata dia sih gitu, dia bilang gampang dapetnya, lobi aja ama Bang Fahmi, abang itu bilang dulu sih ngasi 10% sama dia trus dapet deh, yah buat upah ngurusin lah gitu katanya”.
“Bang Fahmi?”, Runo sontak kaget. Rini mengangguk-angguk dengan wajah datar. Entah sadar atau tidak ia sedang menyimpan sesuatu yang besar.
“trus dia bilang apa lagi?”, tanya Runo.
“trus dia bilang kalo aku mau, dia mau bantu ngurusin soalnya dia udah deket sama bang Fahminya”, ujar Rini.
“kamu jawab apa Rin?”, tanya Runo penasaran, tapi wajah Rini seolah menceritakan kelahiran anak kucingnya.
“aku bilang entar aja, soalnya aku fikir aku harus izin sama abang dulu, kan disini kita anak rantau, abang yang jagain aku, jadi aku harus konsultasi dulu sama abang”, Runo mengelus kepala Rini. Bagaimanapun Rini sangat menghormati Runo.
“kamu udah pernah ceritain ini ke orang?”, tanya Runo.
“belum, sama abang doang kok, aku tahu, pasti abang suruh diem-diem”,lanjut Rini.

***
Mendengar itu Runo bergegas pergi ke kampus, mencari orang yang dirasanya tepat mendengarkan cerita tentang hal tadi.
Runo menemukannya sedang berada di musola usai shalat dzuhur. Ia seperti biasanya sedang sendiri, menyandarkan punggungnya di tembok mushola kecil itu, tapi kali ini dengan buku ditangannya, matanya fokus pada tulisan-tulisan dalam buku itu. Faruq memang senang membaca, tak hanya itu ia juga punya bakat menulis. Kecintaannya pada kata-kata membuatnya semakin menggilai buku-buku, dan itu menambah pemahamannya pada banyak hal. Faruq sampai tak sadar Runo sudah berada dihadapannya.
“Ruq, serius banget kamu sampe nggak sadar ada aku disini”, ujar Runo sambil mengambil posisi duduk disamping Faruq dan menepuk-nepuk bahunya. Faruq tersenyum dan menutup bukunya setelah sebelumnya diberi batas bacaan.
“maaf, ada apa Run kamu kok tiba-tiba kesini, ada sesuatu yang mau kamu omongkan?”, tanya Faruq. Runo mengangguk dengan wajah serius. Masalah ini memang bukan masalah biasa bagi Runo, baginya jika permasalahan ini dibiarkan akan menjadi jamur, dan baginya ini adalah perihal dirinya, mahasiswa, bangsa dan negeri ini. Banyak pemuda yang mungkin tak lagi perduli akan negeri ini, segala isu negeri ini hanya sebuah cerita tak penting dan bukan menjadi urusannya, biarkan pemerintah yang bertindak. Baginya mahasiswa adalah pengawal pemerintahan, mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah, meski itu hanya menjadi kesadaran segelintir mahasiswa.
Diceritakannya kejadian yang dialami adiknya beberapa waktu lalu, Faruq mengangguk-angguk, ia menyimak dengan serius.
“saya sebenarnya udah dengar masalah ini, DPM juga sudah minta bantuan sama BEM karena setelah diklarifikasi malah menemui jalan buntu, ini bahkan memang sudah jadi rahasia umum, saya sedang coba mengorek-ngorek kebenaran isu ini, dan sekarang malah ada informasi seperti ini jadi semakin jelas rasanya, memang harus ada yang dilakukan Run, secepatnya kita akan adakan rapat”, tanya Faruq.
“iya ruq, aku jujur aja kecewa sekali mendengarnya, persoalan ini sudah dianggap bukan masalah, ini kan bahaya, nanti sedikit banyak akan berpengaruh sama mahasiswanya, bisa-bisa hal kayak gini diikutin, padahal hak kita sedang terjajah, mau jadi apa negeri ini ruq kalau hal seperti ini dibenarkan”, ujar Runo berapi-api. Faruq memintanya untuk tetap tenang dan memikirkan langkah apa yang harusnya mereka lakukan. Mereka saling berdiskusi, tapi dalam berdiskusi antara Runo dengan Faruq perbandingannya 10:1000, 10 kata dari Runo akan menimbulkan 1000 kalimat dari Faruq, Faruq memang sangat senang berbicara, kadang-kadang juga keluar dari jalurnya, dan sulit menghentikannya bicara, unik.

***
Faruq lebih serius memperbincangkan hal ini dengan teman-teman yang dirasanya perduli dan ingin berbuat sesuatu. Faruq adalah presiden mahasiswa di kampus saat itu bekerja sama dengan DPM mereka mengusut kasus ini, dimulai dengan mencari informasi lebih banyak terkait hal ini, dan bertanya pada dosen, walaupun seringkali mendapat sambutan tidak baik mereka tetap mencari tahu, dan saat informasi terkumpul, mereka mulai berfikir, sepertinya memang dari pihak Fakultas tidak mendukung apa yang mereka lakukan, bahkan terkesan menghalang-halangi. Hal ini juga sudah mereka coba bicarakan dengan dekan, tetapi justru sambutan yang tidak baik yang mereka dapat, mereka dianggap mencoreng nama fakultas, isu ini memang beredar tidak hanya dilingkungan fakultas saja, bahkan sampai diketahui pihak Universitas.
“Sepertinya usaha kita tidak mendapat respon yang baik, kita sudah coba berbagai cara, kita sudah coba klarifikasi dengan pihak-pihak terkait, bahkan dengan dekan, kita juga coba singgung masalah ini dengan media-media yang ada dikampus, tapi kita menemui jalan buntu, jadi jalan terakhir menurut saya kita perlu mengadakan aksi”, seru Mufid sebagai pejabat menteri Sospolad saat itu dalam agenda rapat DPM dan BEM yang mereka adakan karena permasalahan yang mereka hadapi saat itu. Beberapa menjadi riuh saat itu dan beberapa orang yang lain tampak berfikir keras mengenai pendapat Mufid. Monik mengangkat tangannya menunjukkan bahwa dirinya ingin membuka suara. Doni, ketua DPM yang memimpin rapat saat itu meminta agar peserta rapat menenangkan diri.
“tapi ini akan membahayakan kita, dari awal saya lihat saat kita mulai mengorek-ngorek masalah ini saja kita sudah disambut dengan tidak baik, bisa-bisa kita di DO, apalagi waktu menemui dekan, karena saya saat itu juga ikut, jadi saya tahu persis dekan sangat tersinggung saat itu, saya rasa dan saya perkirakan kalau kita tetap melakukan aksi, dekan tidak akan segan-segan merekomendasikan ke rektor untuk mendrop out kita”, seru Monik perwakilan dari DPM. Dalam rapat itu mereka terpecah menjadi tiga golongan, golongan yang pro terhadap usulan Mufid, golongan yang kontra, dan golongan ketiga yang tidak tahu harus berbuat apa hanya diam saja.
“kita voting saja”, ujar Doni. Mereka segera melakukan voting agar hasil yang didapat bisa disepakati bersama. Ternyata hasil yang didapat lebih dominan untuk melakukan aksi. Monik dan beberapa diantara mereka tampak kecewa, lalu terlihat berbisik sebentar.
“hasil yang didapat ternyata kita tetap melakukan aksi, dan saya harap hasil voting ini menjadi kesepakatan kita bersama”, ujar Doni.
“maaf Don, juga teman-teman yang lain, saya dan beberapa teman-teman nggak setuju, saya tidak mau mengambil resiko untuk sampai harus kehilangan almamater saya karena masalah ini, karena itu sekarang saya putuskan untuk tidak terlibat dalam masalah ini”, ujar Monik. Runo terkejut mendengar penuturan Monik.
“kalau begitu sebaiknya anda keluar saja dari DPM, untuk apa anda ada di DPM kalau anda tidak terlibat dalam perjuangan ini”, Runo berang. Faruq menenangkan Runo.
“saya juga tidak keberatan untuk itu, hargai dong keputusan saya, kamu nggak usah khawatir, sore ini juga saya akan ajukan surat pengunduran diri saya”, ujar Monik pada Runo.
“saya permisi teman-teman”, ujar Monik sambil beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangan diikuti beberapa temannya.

***
Hari itu aktivis-aktivis kampus terutama dari lembaga DPM dan BEM turun lapangan menggelar aksi terkait ketidak jelasan alur beasiswa di halaman kampus. Faruq memimpin aksi itu, ia berdiri sebagai orator disana. Perkuliahan hari itu terganggu, saat orasi itu digelar, seluruh dosen-dosen yang berada dikampus bahkan yang sedang mengajar keluar melihat kejadian yang tidak mereka duga sebelumnya. Mereka terlihat kalang kabut dan masuk kembali keruangan, sepertinya diadakan rapat dadakan. Doni mencari tahu ke dalam gedung itu, melihat dari pintu ruangan yang terdapat kaca dipintunya, ternyata memang benar, para dosen dan staf mengadakan rapat dadakan. Tapi dilihatnya dekan tidak ada diruangan tersebut.
“kamu ngapain disini? Mau nguping rapat dosen? Iya? Ikut saya keluar sekarang”, Dekan tiba-tiba sudah berada dihadapannya tanpa ia sadari. Doni terkejut dan ikut saja apa kata dekan tersebut. Saat tiba diluar Doni kembali bergabung dengan yang lain. Dekan sudah kelihatan sangat berang, tak pernah semarah ini sebelumnya. Dilihatnya Faruq dengan mata yang penuh amarah.
“jadi kamu kepalanya ya? Sudah saya katakan dari awal jangan ungkit hal ini, karena hal ini tidak benar dan mencoreng nama baik fakultas”, ujar dekan.
“beri kami klarifikasi yang jelas pak, kami perlu bukti untuk masalah ini, kami tidak mau hak-hak kami dijajah, dan membiarkan yang tidak benar terus berjalan dikampus kita! Kalau memang apa yang kami pertanyakan selama ini tidak benar, buktikan pada kami Pak!”, seru Faruq.
“selama ini kami sudah coba jalur advokasi, tetapi tidak mendapat respon yang baik, dengan alasan itu kami ada disini Pak”, lanjut yang lain saling mendukung.
“Kamu....”, dekan menunjuk-nunjuk Faruq dengan geram. Wajar jika kemarahan dekan tertuju pada Faruq karena selama ini Faruq yang paling getol mengorek masalah ini.
“Kamu akan saya DO dari kampus ini! Keluar kamu dari kampus ini sekarang!”, wajah dekan memerah, tangannya memegangi dadanya, beliau tampak kesakitan, Faruq beranjak mencoba menolong tapi tangannya ditepis oleh Pak Erlangga, dekan fakultas dimana ia belajar. Pak Erlangga kemudian jatuh pinsan. Mereka bergegas membawa dekan ke rumah sakit.

***
Tidak sedikit yang kemudian menyalahkan Faruq karena kejadian ini, tapi Faruq berusaha memegang teguh apa yang menjadi tujuannya. Meski dugaan Monik ternyata benar-benar terjadi paling tidak ia merasa sedikit lega, karena ancaman itu ditujukan hanya untuk dirinya. Saat mereka berada di rumah Mufid, pak Erlangga masih berada dirumah sakit. Namun keadaannya sudah mulai membaik, dan menurut kabar yang santer terdengar aksi yang digelar oleh Faruq dan teman-temannya beberapa waktu lalu akan ditindak lanjuti, dan terutama Faruq yang dianggap memprovokasi terancam di drop out.
Doni menepuk bahu Faruq yang sedang duduk di pelataran rumah Mufid. Doni duduk disampingnya. Terdengar bunyi jangkrik saling bersahut-sahutan, sudah jam 21.00 malam, jalanan di perkampungan tempat tinggal Mufid sudah sepi. Mereka berdua saja dipelataran. Mufid, Runo dan Syafi ada di dalam rumah berbincang dengan Mak Ijah, Ibu Mufid.
“kamu kok seneng sekali menyendiri sih ruq, apa yang sebenernya kamu fikirin?”, tanya Doni.
“apa kamu sedang mikirin ancaman dekan kemaren itu?”, lanjutnya
“kalau memang itu yang kamu fikirkan, kamu tenang saja, aku dan temen-temen pasti bantu kamu untuk menyelesaikan masalah ini, saya udah konfirmasi ke DPM fakultas tentang permasalahan kampus kita, dan mereka sedang membawa masalah ini ke universitas, kita tunggu kabar dari mereka lagi, karena mereka minta kita untuk menunggu dulu”, lanjut Doni tanpa membiarkan Faruq menjawab pertanyaannya terlebih dahulu.
“saya tahu temen-temen pasti bantu saya, trima kasih Don, tapi saya suka menyendiri sudah dari dulu kok, bukan baru-baru ini saja, saya Cuma merenung saja, saya suka cari inspirasi, besok pagi kita pulang Don, kita istirahat aja, perjalanan besok pasti menghabiskan tenaga”, ajak Faruq.

***
Setelah kepulangan mereka mahasiswa lain yang tadinya tidak perduli rupanya juga penasaran akan kelanjutan kisah aktivis kampus itu. Kabar itu memang dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut, banyak respon yang didapat, bermacam-macam.
“Makanya disuruh kuliah malah demo-demo, gitu deh akibatnya”, komentar yang mencibir perjuangan mereka. Ada juga beberapa yang turut mendoakan agar masalah segera terselesaikan dengan baik.
Faruq mendapat panggilan dari dekan, rupanya beliau sudah sembuh. Sekuat mungkin ia berusaha tenang, ia hanya berfikir apapun yang terjadi nanti semoga usahanya membuahkan hasil, kalaupun ia harus benar-benar di drop out itu adalah sebuah pengorbanan untuk sebuah perjuangan yang mereka lakukan.
Faruq duduk dengan tenang diruangan dekan, berhadapan dengan beliau dengan perasaan tak jelas.
“kamu tentunya sudah faham apa alasan saya memanggil kamu kesini”, ujar beliau sambil berdiri dari duduknya dan berjalan disekitar tempat Faruq duduk. Faruq mengangguk tetap pada posisinya.
“kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan itu sudah mencoreng nama baik Fakultas ini, bahkan Universitas”, lanjut beliau.
“saya melakukan itu semua karena alasan-alasan yang bisa saya pertanggung jawabkan”, sahut Faruq.
“saya sudah dengar alasan-alasan kamu waktu itu, kamu tidak perlu menjelaskan lagi”,
“saya minta maaf memancing emosi bapak sampai bapak jatuh sakit, bukan maksud saya pak ...”,
“saya tahu itu, tidak perlu kamu jelaskan”, Pak Erlangga memotong kata-kata Faruq dengan nada datar, tapi tak mengurangi wibawanya.
“saya memanggil kamu karena saya ingin mengucapkan terima kasih, kalian sudah menjalankan tugas kalian dengan benar”, Faruq terkejut, ia langsung menghadap kearah Pak Erlangga. Faruq tak ingin bertanya mengapa, karena ia amat yakin ini adalah pertolongan Allah, selalu ada pertolongan tak terduga darimana datangnya.
“Kemarin sewaktu saya dirumah sakit ada alumni dari sini menjenguk saya, dan dia menceritakan apa yang pernah ia lakukan semasa kuliah disini, menceritakan kong kali kongnya tentang alur beasiswa itu secara jujur, saya tidak serta merta percaya, saya minta rekan-rekan saya untuk menyelidiki ini, dan memang ada yang tidak beres, saya mulai membuka mata saya, selama ini saya mungkin kurang jeli melihat ketidak beresan ini, karena itu sekarang masalah ini sedang kami usut, dan saya mencabut kata-kata saya tentang ancaman drop out itu, kamu boleh bernafas lega sekarang”, ujar beliau. Faruq sama sekali tak mempunyai gambaran tentang siapa orang yang memberikan titik perubahan pada sudut pandang Pak Erlangga itu.
“dan mengenai siapa orang yang sudah menyelamatkan kamu itu, kamu tidak perlu tahu, ini menjadi rahasia saya dan orang itu, dia mendengar berita tentang kamu dan dia merasa perlu membela kamu, sehingga dia lakukan itu, kamu dapet salam dari dia, saya minta maaf untuk semua yang sudah terjadi antara kami dan kalian, pejuang kampus ini, sekarang kamu boleh keluar dari ruangan saya, terima kasih”, ujar Pak Erlangga. Faruq tersenyum puas, akhirnya usaha mereka menuai hasil. Hanya tinggal menunggu hasil, semuanya pasti terungkap.

***
Aku Rini, saksi dari perjuangan mereka, aku saat itu memang hanya seorang mahasiswa baru yang notabene belum begitu mengenal kampus, tapi abangku menceritakan banyak hal, dan aku juga antusias untuk lebih jauh mengenal kampusku, mengenalkanku tentang artinya menjadi seorang mahasiswa. Bagaimana seharusnya aku menjadi pemuda bangsa ini, aku sangat bangga pernah menjadi orang yang berada diantara mereka.
Setelah Pak dekan memanggil Faruq memang benar kasus itu diusut oleh pihak fakultas, meskipun alot karena tersusun amat rapi akhirnya masalah itu terungkap juga. Bang Fahmi dikeluarkan dari kampus karena terbukti menyalah gunakan amanahnya dengan menyelewengkan beasiswa itu kepada orang yang tidak berhak. Akhirnya sekarang semua menjadi stabil kembali, dan beasiswa sekarang selalu jatuh pada orang yang tepat.
Saat ini aku meneruskan perjuangan Bang Doni, menjalankan tugas sebagai Ketua DPM terpilih hingga setahun kedepan, meskipun aku seorang perempuan, dan dulu terkesan sangat polos, tapi aku banyak belajar untuk menjadi dewasa dan bertanggung jawab atas setiap ucapan dan perbuatanku. mereka semua sudah lulus dan memiliki kehidupan masing-masing, tapi masih tetap berjuang untuk negeri ini. Sejarahpun telah menuliskan nama mereka di kampus ini. Mereka adalah pelukis senja, menjadikannya berwarna saat matahari mulai tenggelam dan memberikan terang saat kegelapan mulai datang.

THE END

Kamis, 27 Januari 2011

Pemuda Pelukis Senja


Oleh: Erni Susanti

Ia duduk disebuah jembatan yang menghubungkan petak-petak sawah, kakinya dibiarkannya menggantung menyentuh air yang warnanya agak kemerahan seperti teh. Jembatan pendek itu kuat berada diatas sebuah parit yang lumayan besar. Di sebelahnya berdiri Runo teman sekelasnya dibangku perkuliahan. Tangannya bertumpu diatas pahanya dengan jari jemari saling berkaitan seolah saling menguatkan, dan tubuhnya agak condong kedepan.
Padi yang hijau masih basah karena embun pagi, seperti juga ia yang basah karena tetesan embun, tapi tak ia perdulikan pagi yang dingin itu menyergap-nyergap tubuhnya. Ia sudah akrab dengan kondisi demikian, kesenangannya terhadap alam membuat alam seolah telah menjadikannya teman.
“Ayo kita balik”, ajak Runo.
“kamu duluan aja, saya masih mau disini”, sahutnya, Runo tak heran, karena selama ini temannya itu memang menyukai kesendirian. Runo pun tak mengerti apa yang difikirkan lelaki sebayanya itu. Bahasa bicaranya memang selalu demikian, saat pertama kali mengenalnya diapun selalu begitu, selalu menggunakan kata ‘saya’, dengan orang terdekat sekalipun.
“ya udah aku balik duluan, aku dah laper, Mak Ijah pasti udah masak nih”, ujar Runo. Ia hanya mengangguk-angguk tak terpengaruh dengan kata-kata Runo barusan.
Tubuhnya menghadap ke arah timur, menghadap matahari pagi yang mulai naik. Matanya sedikit-sedikit mulai menyipit karena matahari yang mulai memaksa matanya untuk terpejam tak mampu menatapnya langsung. Sudah sejak selesai shalat subuh mereka turun dari rumah Mufid untuk jalan-jalan di areal perpetakan sawah yang terkenal didaerah itu. Letaknya memang di kampung halaman Mufid, sehingga mereka sekelompok pemuda yang punya hobi traveling bersama-sama mengunjungi daerah itu. Penat berhari-hari memperjuangkan kebenaran di kampus, lalu hampir di DO, tapi keputusan itu masih menggantung, dan diakhir pekan mereka berada disini.
“Eh Ruq! ngapain kamu disini?”, tanya Mufid yang menghampirinya dengan sedikit berlari.
“merenung aja, kamu kayak nggak kenal saya aja”, sahutnya dengan alis saling bertaut karena tak mampu menantang matahari. Kedua alisnya yang memang hampir menyatu itu semakin disatukan oleh matahari. Mufid mengambil posisi duduk disampingnya.
“kata-kata apa yang kamu punya?”, tanya Mufid.
“Saya ingin menantang matahari, apa saya masih sanggup”, sahut Faruq. Runo mencibir.
“kamu nih ada-ada aja, kamu mau nantang yang nggak mungkin, yang realistis aja”, seru Mufid. Faruq tergelak.
“ketawa lagi tuh”, ujar Mufid.
“enggak, kalau saya nantangin Tuhan iya baru nggak mungkin, saya nggak menantang untuk menang kok, Cuma mengukur seberapa besar keberanian saya”, sahut Faruq.
“gimana nasib kuliah kamu selanjutnya ruq?”, tanya Mufid mengganti topik pembicaraan mereka yang tak jelas tadi.
“kamu khawatir?”, tanya Faruq.
“enggak, aku santai aja sih, malah pengen ketawa terus, abis lucu banget sih, ya iyyalah ruq, aku mikir aja kalau sampai kamu di DO gimana, kamu kan temen aku, saudara aku”, jawab Mufid sekenanya tapi bermaksud serius.
“kamu tenang aja, saya udah siap dengan segala konsekuensinya, saya yakin yang kita perjuangkan nggak akan sia-sia, bagaimana saya nanti saya juga yakin bisa saya atasi, meskipun saya harus kehilangan almamater saya tidak masalah, asalkan saya sudah pernah berbuat sesuatu untuk kampus, sekalipun itu tidak berarti besar bagi orang lain, terima kasih karena kamu dan teman-teman mau ikut andil waktu itu”, Mufid semakin kagum pada sahabatnya itu.
“aku bangga pernah mengenal kamu ruq, walaupun kalau udah ngomong sama kamu selalu aja kamu nggak punya kendali untuk berhenti, tapi aku bangga, kamu sekuat ini, kami gentar karena permasalahan ini, padahal kami tidak sampai terancam di DO, tapi kamu yang nyata-nyata hampir di DO malah bisa berkata seperti ini”, ujar Mufid..
“kamu ini apa-apaan fid, gitu aja kok jangan berlebihan, ya udah kita pulang aja, saya udah lapar ni, selesai perenungannya”, ujar Faruq sambil menepuk-nepuk bahu Mufid.

***
Isu dikampus sebenarnya sedang menguap-nguap, hanya tak banyak yang tahu karena memang tidak pernah mau tahu. Hanya segelintir orang yang perduli apa kabar kampus hari itu. Sekedar tahu saja bahkan tak cukup.
Faruq dan teman-teman seperkumpulannya mengorek isu ini. Seolah-olah telah menjadi kewajaran, kejahatan dibenarkan. Entah itu di anggap atau tidak, Faruq merasa kampus adalah Indonesia kecilnya, disana ada sebuah pemerintahan, organisasi dan masyarakat. Hatinya menjadi tidak tenang melihat yang tak benar menjadi sebuah kebenaran yang salah. Ada orang-orang yang menumpuk uang dibalik perut gendutnya, diam-diam saja, dan menjadi rahasia bagi dirinya dan orang-orang terkait saja.
Bukan tanpa alasan isu ini menguak, tidak ada keburukan yang kekal tertutupi, semua akan terbuka dengan sendirinya jika tak mau membuka diri.
“Bang, Rini ada cerita nih”, seru Rini pada Runo, abang kandungnya yang 3 tahun lebih tua darinya. Mereka kuliah disatu universitas dan satu fakultas pula, hanya saja berbeda program.
“ada apa?”, Runo seorang pendengar yang baik, adiknya seseorang yang sangat terbuka, apapun diceritakannya pada Runo, sekalipun seringkali ia bercerita hal yang tak penting.
“kemarin nih, Rini ketemu sama orang bang, trus orang itu bilang kalo dia dulu kuliah dikampus kita juga bang, udah kerja sih sekarang, dia cerita kalo dia dulu kuliah nggak pernah bayar semesteran lo bang, keren ya”,
“wah bagus tu Rin, beasiswa dong”, sahutnya.
“emm kata dia sih gitu, dia bilang gampang dapetnya, lobi aja ama Bang Fahmi, abang itu bilang dulu sih ngasi 10% sama dia trus dapet deh, yah buat upah ngurusin lah gitu katanya”.
“Bang Fahmi?”, Runo sontak kaget. Rini mengangguk-angguk dengan wajah datar. Entah sadar atau tidak ia sedang menyimpan sesuatu yang besar.
“trus dia bilang apa lagi?”, tanya Runo.
“trus dia bilang kalo aku mau, dia mau bantu ngurusin soalnya dia udah deket sama bang Fahminya”, ujar Rini.
“kamu jawab apa Rin?”, tanya Runo penasaran, tapi wajah Rini seolah menceritakan kelahiran anak kucingnya.
“aku bilang entar aja, soalnya aku fikir aku harus izin sama abang dulu, kan disini kita anak rantau, abang yang jagain aku, jadi aku harus konsultasi dulu sama abang”, Runo mengelus kepala Rini. Bagaimanapun Rini sangat menghormati Runo.
“kamu udah pernah ceritain ini ke orang?”, tanya Runo.
“belum, sama abang doang kok, aku tahu, pasti abang suruh diem-diem”,lanjut Rini.

***
Mendengar itu Runo bergegas pergi ke kampus, mencari orang yang dirasanya tepat mendengarkan cerita tentang hal tadi.
Runo menemukannya sedang berada di musola usai shalat dzuhur. Ia seperti biasanya sedang sendiri, menyandarkan punggungnya di tembok mushola kecil itu, tapi kali ini dengan buku ditangannya, matanya fokus pada tulisan-tulisan dalam buku itu. Faruq memang senang membaca, tak hanya itu ia juga punya bakat menulis. Kecintaannya pada kata-kata membuatnya semakin menggilai buku-buku, dan itu menambah pemahamannya pada banyak hal. Faruq sampai tak sadar Runo sudah berada dihadapannya.
“Ruq, serius banget kamu sampe nggak sadar ada aku disini”, ujar Runo sambil mengambil posisi duduk disamping Faruq dan menepuk-nepuk bahunya. Faruq tersenyum dan menutup bukunya setelah sebelumnya diberi batas bacaan.
“maaf, ada apa Run kamu kok tiba-tiba kesini, ada sesuatu yang mau kamu omongkan?”, tanya Faruq. Runo mengangguk dengan wajah serius. Masalah ini memang bukan masalah biasa bagi Runo, baginya jika permasalahan ini dibiarkan akan menjadi jamur, dan baginya ini adalah perihal dirinya, mahasiswa, bangsa dan negeri ini. Banyak pemuda yang mungkin tak lagi perduli akan negeri ini, segala isu negeri ini hanya sebuah cerita tak penting dan bukan menjadi urusannya, biarkan pemerintah yang bertindak. Baginya mahasiswa adalah pengawal pemerintahan, mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah, meski itu hanya menjadi kesadaran segelintir mahasiswa.
Diceritakannya kejadian yang dialami adiknya beberapa waktu lalu, Faruq mengangguk-angguk, ia menyimak dengan serius.
“saya sebenarnya udah dengar masalah ini, DPM juga sudah minta bantuan sama BEM karena setelah diklarifikasi malah menemui jalan buntu, ini bahkan memang sudah jadi rahasia umum, saya sedang coba mengorek-ngorek kebenaran isu ini, dan sekarang malah ada informasi seperti ini jadi semakin jelas rasanya, memang harus ada yang dilakukan Run, secepatnya kita akan adakan rapat”, tanya Faruq.
“iya ruq, aku jujur aja kecewa sekali mendengarnya, persoalan ini sudah dianggap bukan masalah, ini kan bahaya, nanti sedikit banyak akan berpengaruh sama mahasiswanya, bisa-bisa hal kayak gini diikutin, padahal hak kita sedang terjajah, mau jadi apa negeri ini ruq kalau hal seperti ini dibenarkan”, ujar Runo berapi-api. Faruq memintanya untuk tetap tenang dan memikirkan langkah apa yang harusnya mereka lakukan. Mereka saling berdiskusi, tapi dalam berdiskusi antara Runo dengan Faruq perbandingannya 10:1000, 10 kata dari Runo akan menimbulkan 1000 kalimat dari Faruq, Faruq memang sangat senang berbicara, kadang-kadang juga keluar dari jalurnya, dan sulit menghentikannya bicara, unik.

***
Faruq lebih serius memperbincangkan hal ini dengan teman-teman yang dirasanya perduli dan ingin berbuat sesuatu. Faruq adalah presiden mahasiswa di kampus saat itu bekerja sama dengan DPM mereka mengusut kasus ini, dimulai dengan mencari informasi lebih banyak terkait hal ini, dan bertanya pada dosen, walaupun seringkali mendapat sambutan tidak baik mereka tetap mencari tahu, dan saat informasi terkumpul, mereka mulai berfikir, sepertinya memang dari pihak Fakultas tidak mendukung apa yang mereka lakukan, bahkan terkesan menghalang-halangi. Hal ini juga sudah mereka coba bicarakan dengan dekan, tetapi justru sambutan yang tidak baik yang mereka dapat, mereka dianggap mencoreng nama fakultas, isu ini memang beredar tidak hanya dilingkungan fakultas saja, bahkan sampai diketahui pihak Universitas.
“Sepertinya usaha kita tidak mendapat respon yang baik, kita sudah coba berbagai cara, kita sudah coba klarifikasi dengan pihak-pihak terkait, bahkan dengan dekan, kita juga coba singgung masalah ini dengan media-media yang ada dikampus, tapi kita menemui jalan buntu, jadi jalan terakhir menurut saya kita perlu mengadakan aksi”, seru Mufid sebagai pejabat menteri Sospolad saat itu dalam agenda rapat DPM dan BEM yang mereka adakan karena permasalahan yang mereka hadapi saat itu. Beberapa menjadi riuh saat itu dan beberapa orang yang lain tampak berfikir keras mengenai pendapat Mufid. Monik mengangkat tangannya menunjukkan bahwa dirinya ingin membuka suara. Doni, ketua DPM yang memimpin rapat saat itu meminta agar peserta rapat menenangkan diri.
“tapi ini akan membahayakan kita, dari awal saya lihat saat kita mulai mengorek-ngorek masalah ini saja kita sudah disambut dengan tidak baik, bisa-bisa kita di DO, apalagi waktu menemui dekan, karena saya saat itu juga ikut, jadi saya tahu persis dekan sangat tersinggung saat itu, saya rasa dan saya perkirakan kalau kita tetap melakukan aksi, dekan tidak akan segan-segan merekomendasikan ke rektor untuk mendrop out kita”, seru Monik perwakilan dari DPM. Dalam rapat itu mereka terpecah menjadi tiga golongan, golongan yang pro terhadap usulan Mufid, golongan yang kontra, dan golongan ketiga yang tidak tahu harus berbuat apa hanya diam saja.
“kita voting saja”, ujar Doni. Mereka segera melakukan voting agar hasil yang didapat bisa disepakati bersama. Ternyata hasil yang didapat lebih dominan untuk melakukan aksi. Monik dan beberapa diantara mereka tampak kecewa, lalu terlihat berbisik sebentar.
“hasil yang didapat ternyata kita tetap melakukan aksi, dan saya harap hasil voting ini menjadi kesepakatan kita bersama”, ujar Doni.
“maaf Don, juga teman-teman yang lain, saya dan beberapa teman-teman nggak setuju, saya tidak mau mengambil resiko untuk sampai harus kehilangan almamater saya karena masalah ini, karena itu sekarang saya putuskan untuk tidak terlibat dalam masalah ini”, ujar Monik. Runo terkejut mendengar penuturan Monik.
“kalau begitu sebaiknya anda keluar saja dari DPM, untuk apa anda ada di DPM kalau anda tidak terlibat dalam perjuangan ini”, Runo berang. Faruq menenangkan Runo.
“saya juga tidak keberatan untuk itu, hargai dong keputusan saya, kamu nggak usah khawatir, sore ini juga saya akan ajukan surat pengunduran diri saya”, ujar Monik pada Runo.
“saya permisi teman-teman”, ujar Monik sambil beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangan diikuti beberapa temannya.

***
Hari itu aktivis-aktivis kampus terutama dari lembaga DPM dan BEM turun lapangan menggelar aksi terkait ketidak jelasan alur beasiswa di halaman kampus. Faruq memimpin aksi itu, ia berdiri sebagai orator disana. Perkuliahan hari itu terganggu, saat orasi itu digelar, seluruh dosen-dosen yang berada dikampus bahkan yang sedang mengajar keluar melihat kejadian yang tidak mereka duga sebelumnya. Mereka terlihat kalang kabut dan masuk kembali keruangan, sepertinya diadakan rapat dadakan. Doni mencari tahu ke dalam gedung itu, melihat dari pintu ruangan yang terdapat kaca dipintunya, ternyata memang benar, para dosen dan staf mengadakan rapat dadakan. Tapi dilihatnya dekan tidak ada diruangan tersebut.
“kamu ngapain disini? Mau nguping rapat dosen? Iya? Ikut saya keluar sekarang”, Dekan tiba-tiba sudah berada dihadapannya tanpa ia sadari. Doni terkejut dan ikut saja apa kata dekan tersebut. Saat tiba diluar Doni kembali bergabung dengan yang lain. Dekan sudah kelihatan sangat berang, tak pernah semarah ini sebelumnya. Dilihatnya Faruq dengan mata yang penuh amarah.
“jadi kamu kepalanya ya? Sudah saya katakan dari awal jangan ungkit hal ini, karena hal ini tidak benar dan mencoreng nama baik fakultas”, ujar dekan.
“beri kami klarifikasi yang jelas pak, kami perlu bukti untuk masalah ini, kami tidak mau hak-hak kami dijajah, dan membiarkan yang tidak benar terus berjalan dikampus kita! Kalau memang apa yang kami pertanyakan selama ini tidak benar, buktikan pada kami Pak!”, seru Faruq.
“selama ini kami sudah coba jalur advokasi, tetapi tidak mendapat respon yang baik, dengan alasan itu kami ada disini Pak”, lanjut yang lain saling mendukung.
“Kamu....”, dekan menunjuk-nunjuk Faruq dengan geram. Wajar jika kemarahan dekan tertuju pada Faruq karena selama ini Faruq yang paling getol mengorek masalah ini.
“Kamu akan saya DO dari kampus ini! Keluar kamu dari kampus ini sekarang!”, wajah dekan memerah, tangannya memegangi dadanya, beliau tampak kesakitan, Faruq beranjak mencoba menolong tapi tangannya ditepis oleh Pak Erlangga, dekan fakultas dimana ia belajar. Pak Erlangga kemudian jatuh pinsan. Mereka bergegas membawa dekan ke rumah sakit.

***
Tidak sedikit yang kemudian menyalahkan Faruq karena kejadian ini, tapi Faruq berusaha memegang teguh apa yang menjadi tujuannya. Meski dugaan Monik ternyata benar-benar terjadi paling tidak ia merasa sedikit lega, karena ancaman itu ditujukan hanya untuk dirinya. Saat mereka berada di rumah Mufid, pak Erlangga masih berada dirumah sakit. Namun keadaannya sudah mulai membaik, dan menurut kabar yang santer terdengar aksi yang digelar oleh Faruq dan teman-temannya beberapa waktu lalu akan ditindak lanjuti, dan terutama Faruq yang dianggap memprovokasi terancam di drop out.
Doni menepuk bahu Faruq yang sedang duduk di pelataran rumah Mufid. Doni duduk disampingnya. Terdengar bunyi jangkrik saling bersahut-sahutan, sudah jam 21.00 malam, jalanan di perkampungan tempat tinggal Mufid sudah sepi. Mereka berdua saja dipelataran. Mufid, Runo dan Syafi ada di dalam rumah berbincang dengan Mak Ijah, Ibu Mufid.
“kamu kok seneng sekali menyendiri sih ruq, apa yang sebenernya kamu fikirin?”, tanya Doni.
“apa kamu sedang mikirin ancaman dekan kemaren itu?”, lanjutnya
“kalau memang itu yang kamu fikirkan, kamu tenang saja, aku dan temen-temen pasti bantu kamu untuk menyelesaikan masalah ini, saya udah konfirmasi ke DPM fakultas tentang permasalahan kampus kita, dan mereka sedang membawa masalah ini ke universitas, kita tunggu kabar dari mereka lagi, karena mereka minta kita untuk menunggu dulu”, lanjut Doni tanpa membiarkan Faruq menjawab pertanyaannya terlebih dahulu.
“saya tahu temen-temen pasti bantu saya, trima kasih Don, tapi saya suka menyendiri sudah dari dulu kok, bukan baru-baru ini saja, saya Cuma merenung saja, saya suka cari inspirasi, besok pagi kita pulang Don, kita istirahat aja, perjalanan besok pasti menghabiskan tenaga”, ajak Faruq.

***
Setelah kepulangan mereka mahasiswa lain yang tadinya tidak perduli rupanya juga penasaran akan kelanjutan kisah aktivis kampus itu. Kabar itu memang dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut, banyak respon yang didapat, bermacam-macam.
“Makanya disuruh kuliah malah demo-demo, gitu deh akibatnya”, komentar yang mencibir perjuangan mereka. Ada juga beberapa yang turut mendoakan agar masalah segera terselesaikan dengan baik.
Faruq mendapat panggilan dari dekan, rupanya beliau sudah sembuh. Sekuat mungkin ia berusaha tenang, ia hanya berfikir apapun yang terjadi nanti semoga usahanya membuahkan hasil, kalaupun ia harus benar-benar di drop out itu adalah sebuah pengorbanan untuk sebuah perjuangan yang mereka lakukan.
Faruq duduk dengan tenang diruangan dekan, berhadapan dengan beliau dengan perasaan tak jelas.
“kamu tentunya sudah faham apa alasan saya memanggil kamu kesini”, ujar beliau sambil berdiri dari duduknya dan berjalan disekitar tempat Faruq duduk. Faruq mengangguk tetap pada posisinya.
“kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan itu sudah mencoreng nama baik Fakultas ini, bahkan Universitas”, lanjut beliau.
“saya melakukan itu semua karena alasan-alasan yang bisa saya pertanggung jawabkan”, sahut Faruq.
“saya sudah dengar alasan-alasan kamu waktu itu, kamu tidak perlu menjelaskan lagi”,
“saya minta maaf memancing emosi bapak sampai bapak jatuh sakit, bukan maksud saya pak ...”,
“saya tahu itu, tidak perlu kamu jelaskan”, Pak Erlangga memotong kata-kata Faruq dengan nada datar, tapi tak mengurangi wibawanya.
“saya memanggil kamu karena saya ingin mengucapkan terima kasih, kalian sudah menjalankan tugas kalian dengan benar”, Faruq terkejut, ia langsung menghadap kearah Pak Erlangga. Faruq tak ingin bertanya mengapa, karena ia amat yakin ini adalah pertolongan Allah, selalu ada pertolongan tak terduga darimana datangnya.
“Kemarin sewaktu saya dirumah sakit ada alumni dari sini menjenguk saya, dan dia menceritakan apa yang pernah ia lakukan semasa kuliah disini, menceritakan kong kali kongnya tentang alur beasiswa itu secara jujur, saya tidak serta merta percaya, saya minta rekan-rekan saya untuk menyelidiki ini, dan memang ada yang tidak beres, saya mulai membuka mata saya, selama ini saya mungkin kurang jeli melihat ketidak beresan ini, karena itu sekarang masalah ini sedang kami usut, dan saya mencabut kata-kata saya tentang ancaman drop out itu, kamu boleh bernafas lega sekarang”, ujar beliau. Faruq sama sekali tak mempunyai gambaran tentang siapa orang yang memberikan titik perubahan pada sudut pandang Pak Erlangga itu.
“dan mengenai siapa orang yang sudah menyelamatkan kamu itu, kamu tidak perlu tahu, ini menjadi rahasia saya dan orang itu, dia mendengar berita tentang kamu dan dia merasa perlu membela kamu, sehingga dia lakukan itu, kamu dapet salam dari dia, saya minta maaf untuk semua yang sudah terjadi antara kami dan kalian, pejuang kampus ini, sekarang kamu boleh keluar dari ruangan saya, terima kasih”, ujar Pak Erlangga. Faruq tersenyum puas, akhirnya usaha mereka menuai hasil. Hanya tinggal menunggu hasil, semuanya pasti terungkap.

***
Aku Rini, saksi dari perjuangan mereka, aku saat itu memang hanya seorang mahasiswa baru yang notabene belum begitu mengenal kampus, tapi abangku menceritakan banyak hal, dan aku juga antusias untuk lebih jauh mengenal kampusku, mengenalkanku tentang artinya menjadi seorang mahasiswa. Bagaimana seharusnya aku menjadi pemuda bangsa ini, aku sangat bangga pernah menjadi orang yang berada diantara mereka.
Setelah Pak dekan memanggil Faruq memang benar kasus itu diusut oleh pihak fakultas, meskipun alot karena tersusun amat rapi akhirnya masalah itu terungkap juga. Bang Fahmi dikeluarkan dari kampus karena terbukti menyalah gunakan amanahnya dengan menyelewengkan beasiswa itu kepada orang yang tidak berhak. Akhirnya sekarang semua menjadi stabil kembali, dan beasiswa sekarang selalu jatuh pada orang yang tepat.
Saat ini aku meneruskan perjuangan Bang Doni, menjalankan tugas sebagai Ketua DPM terpilih hingga setahun kedepan, meskipun aku seorang perempuan, dan dulu terkesan sangat polos, tapi aku banyak belajar untuk menjadi dewasa dan bertanggung jawab atas setiap ucapan dan perbuatanku. mereka semua sudah lulus dan memiliki kehidupan masing-masing, tapi masih tetap berjuang untuk negeri ini. Sejarahpun telah menuliskan nama mereka di kampus ini. Mereka adalah pelukis senja, menjadikannya berwarna saat matahari mulai tenggelam dan memberikan terang saat kegelapan mulai datang.

THE END