Yang lalu lalang
kemarin bersama desing peluru malam pusaka
Wahai purnama …
Sepikah
rumah-rumah yang koyak malam itu?
Wahai purnama …
Adakah kau
saksikan kelahiran putra pertiwi dalam selimutmu?
Sudah ku tunggu
…
Puluhan purnama
dalam tahun-tahun yang muram …
Hingga esok purnama
berakhir aku menunggu …
Saat aku
bersaksi tentang Negeri para petani yang miskin …
Tentang Negeri
para buruh yang nestapa …
Tentang
anak-anak yang kehilangan suka dalam buku-buku masa depannya
Sudahkah kau
berbincang dengan pungguk yang seakan mati …
Pura-pura ingin
padahal tak ingin ..
Katanya
bernyanyi tentang Indonesia ....
Dalam
panggung-panggung yang digotong terpincang-pincang …
Katanya pula
seperti Purnama terakhir baginya Indonesia
Hey Engkau!
Sudahkah kau
saksikan puisi malam itu
Oleh angin dan
hujan yang menghujam
Atau api yang
membakar kamar-kamar tuanmu …
Hey engkau !
Kubaca
tulisan-tulisan usang dibalik kacamatamu
Jangan
berteriak!
Jangan teriakkan
kemerdekaan itu!
Waktu anak
menangis di kakimu
Menjerit dalam
rumah-rumah tanpa jendela
Sudah ku simpan
seikat pusaka
Merah putih
namanya …
Biar aku ajarkan
padamu tentang kemuliaan
Tentang Merah
dan Putih
Tentang tanah
ini …
Tapi kaukah itu?
Yang memeluk
anak-anak tanpa Ayah dan Ibu dengan tanganmu?
Tapi kaukah itu?
Yang menyirami
tanah petani dengan tanganmu?
Ahhhhhhhhhhh
Aku menunggu
sampai mati!
Sampai tak ada
lagi api!
Sampai purnama
kemarau menanti
Tak ada sesiapa
yang suka membuka pintu untuk kami
Kaupun pemuda
dari Negeriku bergeming, atau mati!
Mana ku tahu!
Mana aku
mengerti!
Esok purnama terakhir…
Kau saksikan
sendiri penderitaan Negerimu
Mati atau hapus
air mata pertiwi
Lalu teriakkanlah
tentang masa depan bangsamu
Teriakkan
jeritan anak-anak jalanan didadamu
Bawa serta perjuanganmu!
Biar ku berikan
lilin ini untuk kau sambut kawanmu nanti
Nyalakan
lilinmu!
Nyalakan
lilinmu!