PURNAMA TERAKHIR

Jumat, 14 September 2012


Wahai purnama …
Yang lalu lalang kemarin bersama desing peluru malam pusaka
Wahai purnama …
Sepikah rumah-rumah yang koyak malam itu?
Wahai purnama …
Adakah kau saksikan kelahiran putra pertiwi dalam selimutmu?

Sudah ku tunggu …
Puluhan purnama dalam tahun-tahun yang muram …
Hingga esok purnama berakhir aku menunggu …
Saat aku bersaksi tentang Negeri para petani yang miskin …
Tentang Negeri para buruh yang nestapa …
Tentang anak-anak yang kehilangan suka dalam buku-buku masa depannya

Sudahkah kau berbincang dengan pungguk yang seakan mati …
Pura-pura ingin padahal tak ingin ..
Katanya bernyanyi tentang Indonesia ....
Dalam panggung-panggung yang digotong terpincang-pincang …
Katanya pula seperti Purnama terakhir baginya Indonesia

Hey Engkau!
Sudahkah kau saksikan puisi malam itu
Oleh angin dan hujan yang menghujam
Atau api yang membakar kamar-kamar tuanmu …

Hey engkau !
Kubaca tulisan-tulisan usang dibalik kacamatamu
Jangan berteriak!
Jangan teriakkan kemerdekaan itu!
Waktu anak menangis di kakimu
Menjerit dalam rumah-rumah tanpa jendela

Sudah ku simpan seikat pusaka
Merah putih namanya …
Biar aku ajarkan padamu tentang kemuliaan
Tentang Merah dan Putih
Tentang tanah ini …

Tapi kaukah itu?
Yang memeluk anak-anak tanpa Ayah dan Ibu dengan tanganmu?
Tapi kaukah itu?
Yang menyirami tanah petani dengan tanganmu?

Ahhhhhhhhhhh
Aku menunggu sampai mati!
Sampai tak ada lagi api!
Sampai purnama kemarau menanti

Tak ada sesiapa yang suka membuka pintu untuk kami
Kaupun pemuda dari Negeriku bergeming, atau mati!
Mana ku tahu!
Mana aku mengerti!

Esok purnama terakhir…
Kau saksikan sendiri penderitaan Negerimu
Mati atau hapus air mata pertiwi

Lalu teriakkanlah tentang masa depan bangsamu
Teriakkan jeritan anak-anak jalanan didadamu
Bawa serta perjuanganmu!
Biar ku berikan lilin ini untuk kau sambut kawanmu nanti
Nyalakan lilinmu!
Nyalakan lilinmu!

PURNAMA TERAKHIR

·


Wahai purnama …
Yang lalu lalang kemarin bersama desing peluru malam pusaka
Wahai purnama …
Sepikah rumah-rumah yang koyak malam itu?
Wahai purnama …
Adakah kau saksikan kelahiran putra pertiwi dalam selimutmu?

Sudah ku tunggu …
Puluhan purnama dalam tahun-tahun yang muram …
Hingga esok purnama berakhir aku menunggu …
Saat aku bersaksi tentang Negeri para petani yang miskin …
Tentang Negeri para buruh yang nestapa …
Tentang anak-anak yang kehilangan suka dalam buku-buku masa depannya

Sudahkah kau berbincang dengan pungguk yang seakan mati …
Pura-pura ingin padahal tak ingin ..
Katanya bernyanyi tentang Indonesia ....
Dalam panggung-panggung yang digotong terpincang-pincang …
Katanya pula seperti Purnama terakhir baginya Indonesia

Hey Engkau!
Sudahkah kau saksikan puisi malam itu
Oleh angin dan hujan yang menghujam
Atau api yang membakar kamar-kamar tuanmu …

Hey engkau !
Kubaca tulisan-tulisan usang dibalik kacamatamu
Jangan berteriak!
Jangan teriakkan kemerdekaan itu!
Waktu anak menangis di kakimu
Menjerit dalam rumah-rumah tanpa jendela

Sudah ku simpan seikat pusaka
Merah putih namanya …
Biar aku ajarkan padamu tentang kemuliaan
Tentang Merah dan Putih
Tentang tanah ini …

Tapi kaukah itu?
Yang memeluk anak-anak tanpa Ayah dan Ibu dengan tanganmu?
Tapi kaukah itu?
Yang menyirami tanah petani dengan tanganmu?

Ahhhhhhhhhhh
Aku menunggu sampai mati!
Sampai tak ada lagi api!
Sampai purnama kemarau menanti

Tak ada sesiapa yang suka membuka pintu untuk kami
Kaupun pemuda dari Negeriku bergeming, atau mati!
Mana ku tahu!
Mana aku mengerti!

Esok purnama terakhir…
Kau saksikan sendiri penderitaan Negerimu
Mati atau hapus air mata pertiwi

Lalu teriakkanlah tentang masa depan bangsamu
Teriakkan jeritan anak-anak jalanan didadamu
Bawa serta perjuanganmu!
Biar ku berikan lilin ini untuk kau sambut kawanmu nanti
Nyalakan lilinmu!
Nyalakan lilinmu!

Jumat, 14 September 2012

PURNAMA TERAKHIR



Wahai purnama …
Yang lalu lalang kemarin bersama desing peluru malam pusaka
Wahai purnama …
Sepikah rumah-rumah yang koyak malam itu?
Wahai purnama …
Adakah kau saksikan kelahiran putra pertiwi dalam selimutmu?

Sudah ku tunggu …
Puluhan purnama dalam tahun-tahun yang muram …
Hingga esok purnama berakhir aku menunggu …
Saat aku bersaksi tentang Negeri para petani yang miskin …
Tentang Negeri para buruh yang nestapa …
Tentang anak-anak yang kehilangan suka dalam buku-buku masa depannya

Sudahkah kau berbincang dengan pungguk yang seakan mati …
Pura-pura ingin padahal tak ingin ..
Katanya bernyanyi tentang Indonesia ....
Dalam panggung-panggung yang digotong terpincang-pincang …
Katanya pula seperti Purnama terakhir baginya Indonesia

Hey Engkau!
Sudahkah kau saksikan puisi malam itu
Oleh angin dan hujan yang menghujam
Atau api yang membakar kamar-kamar tuanmu …

Hey engkau !
Kubaca tulisan-tulisan usang dibalik kacamatamu
Jangan berteriak!
Jangan teriakkan kemerdekaan itu!
Waktu anak menangis di kakimu
Menjerit dalam rumah-rumah tanpa jendela

Sudah ku simpan seikat pusaka
Merah putih namanya …
Biar aku ajarkan padamu tentang kemuliaan
Tentang Merah dan Putih
Tentang tanah ini …

Tapi kaukah itu?
Yang memeluk anak-anak tanpa Ayah dan Ibu dengan tanganmu?
Tapi kaukah itu?
Yang menyirami tanah petani dengan tanganmu?

Ahhhhhhhhhhh
Aku menunggu sampai mati!
Sampai tak ada lagi api!
Sampai purnama kemarau menanti

Tak ada sesiapa yang suka membuka pintu untuk kami
Kaupun pemuda dari Negeriku bergeming, atau mati!
Mana ku tahu!
Mana aku mengerti!

Esok purnama terakhir…
Kau saksikan sendiri penderitaan Negerimu
Mati atau hapus air mata pertiwi

Lalu teriakkanlah tentang masa depan bangsamu
Teriakkan jeritan anak-anak jalanan didadamu
Bawa serta perjuanganmu!
Biar ku berikan lilin ini untuk kau sambut kawanmu nanti
Nyalakan lilinmu!
Nyalakan lilinmu!