Maghrib

Jumat, 02 November 2012

maghrib,
penghulu matahari menarik diri
Mengawinkannya dengan senja ..
Dalam mega terpekur seorang-seorang saja

Suara-suara kereta dalam barisan hari ini terhenti
Segera sajak-sajak berkejar-kejar dengan angin
Gelombangnya memotong sejumlah potongan garis kota lalu mengaburkannya

Lalu dalam haru dan resahnya
musola kecil dalam kota besar
Bertubi-tubi memanggil-manggil
Sang kelana yang tak jua rehat dari perjalanannya

Jauh nian dalam pandangannya
Sebuah telaga dalam peta ..
Padahal telaga tengah pasang
Saat maghrib dimusola kecil kota besar

Pontianak,maghrib mengikat senja
Singgahlah dan raup air dalam telaga

Tak mudah menjadi aku

Selasa, 30 Oktober 2012

Kau ...
dengarlah sedikit suaraku yang patah-patah ini ...
sambil tersenyum harapku tapi tidak kemudian ...
karena tiba-tiba di penghujung ucapanku ...
aku merasa terhuyung ...

aku belum bertanya pada Tuhan ...
apakah telah ia mengajarimu ...
arti siapapun dalam masa hidupmu

tiba-tiba merasa aku terlempar di lautan ...
tergulung ombak...
kau tinggalkan ...

Oh ...
tak mudah menjadi aku ini ...
kau, tak dengarkah?
tak bisa binasa semua catatan usangku
sakit mengarungi lautan besar ini sendiri ...
setelah dulu setengah kau yang ajari aku lautan ...

tak mudah menjadi aku ...
coba saja gantikan dudukmu disini ...
tidak, tidak kau juga akan bilang ...
tak mudah menjadi aku ...

sempurna ...
indahmu sempurna ...
sampai kini pun segala telah sempurna ...
dan aku lunglai karena sakit itu pun terasa sempurna ...
demikian ku kata tak mudah menjadi aku ...

Jendela Kunang-kunang

Senin, 17 September 2012

Kunang-kunang
Ku sambangi jendelamu
sambil kuraba dinding yang kusam di hadapku
ku letakkan satu-satu kunang-kunang di jendelamu
biar kau tak gelap saat duduk memandangku

Aku merana saat pagi
Kunang-kunang terbang pergi atau bersembunyi
dan kau tak ada di jendelamu
rindu ...

Aku ingin menembus dinding istanamu yang tinggi
Biar setiap hari kutaruh kunang-kunang di tanganmu
Tidak untuk apapun ...
Hanya untuk binar matamu ..

masih ku ingat mata pertamamu ...
pertama kali jeda mempertemukan kita berdua
dan kunang-kunang hinggap di jendelamu
Kau jatuh cinta dan aku pula ...
pada kunang-kunang mungkin atau pada kita berdua

Kunang-kunang tak datang bersama matahari
atau kau tak tahu
dan ku ajari engkau persahabatan dengannya
agar malam ini ia datang kembali padamu
dan mengulang kembali jeda pertama kita bertemu ...

Setangkai Mawar Merah

Minggu, 16 September 2012

Aku mau jadi setangkai mawar merah
biar bisa kau simpan dikamarmu hingga layu
Aku mau jadi setangkai mawar merah ...
biar membusuk di tong sampahmu ...

Aku mau jadi setangkai mawar merah ...
yang saat kau petik aku sakit tapi lalu mati
aku mau jadi setangkai mawar merah ...
yang bila layu kau buang tapi aku mati ...

Aku mau jadi setangkai mawar merah
tidak menangis saat kau petik
tidak menangis saat kau buang
tidak menangis saat kelopakku layu
tidak menangis saat membusuk ...
karena sebelum aku bersiap aku telah mati

Biar saja taman kini gersang menjadi gurun
mungkin pun mawarmu telah terkubur dalam-dalam
pilu dan membusuk
tapi biarlah mawarmu sudah mati
dalam mimpi pun tidak lagi ia harum
dalam khayal pun tidak lagi ia dalam vas di meja kamarmu ...

malam-malam yang kau tunjuk
kemarin dan saat ini ...
tidak seorang pun merenggutnya ...
hanya aku menggigit bibir
dengan batin amat sesak
kembali lagi di batu-batu ...
menunggu ...
menunggu ...
setangkai mawar merah sekali lagi di taman itu

PURNAMA TERAKHIR

Jumat, 14 September 2012


Wahai purnama …
Yang lalu lalang kemarin bersama desing peluru malam pusaka
Wahai purnama …
Sepikah rumah-rumah yang koyak malam itu?
Wahai purnama …
Adakah kau saksikan kelahiran putra pertiwi dalam selimutmu?

Sudah ku tunggu …
Puluhan purnama dalam tahun-tahun yang muram …
Hingga esok purnama berakhir aku menunggu …
Saat aku bersaksi tentang Negeri para petani yang miskin …
Tentang Negeri para buruh yang nestapa …
Tentang anak-anak yang kehilangan suka dalam buku-buku masa depannya

Sudahkah kau berbincang dengan pungguk yang seakan mati …
Pura-pura ingin padahal tak ingin ..
Katanya bernyanyi tentang Indonesia ....
Dalam panggung-panggung yang digotong terpincang-pincang …
Katanya pula seperti Purnama terakhir baginya Indonesia

Hey Engkau!
Sudahkah kau saksikan puisi malam itu
Oleh angin dan hujan yang menghujam
Atau api yang membakar kamar-kamar tuanmu …

Hey engkau !
Kubaca tulisan-tulisan usang dibalik kacamatamu
Jangan berteriak!
Jangan teriakkan kemerdekaan itu!
Waktu anak menangis di kakimu
Menjerit dalam rumah-rumah tanpa jendela

Sudah ku simpan seikat pusaka
Merah putih namanya …
Biar aku ajarkan padamu tentang kemuliaan
Tentang Merah dan Putih
Tentang tanah ini …

Tapi kaukah itu?
Yang memeluk anak-anak tanpa Ayah dan Ibu dengan tanganmu?
Tapi kaukah itu?
Yang menyirami tanah petani dengan tanganmu?

Ahhhhhhhhhhh
Aku menunggu sampai mati!
Sampai tak ada lagi api!
Sampai purnama kemarau menanti

Tak ada sesiapa yang suka membuka pintu untuk kami
Kaupun pemuda dari Negeriku bergeming, atau mati!
Mana ku tahu!
Mana aku mengerti!

Esok purnama terakhir…
Kau saksikan sendiri penderitaan Negerimu
Mati atau hapus air mata pertiwi

Lalu teriakkanlah tentang masa depan bangsamu
Teriakkan jeritan anak-anak jalanan didadamu
Bawa serta perjuanganmu!
Biar ku berikan lilin ini untuk kau sambut kawanmu nanti
Nyalakan lilinmu!
Nyalakan lilinmu!

KOMUNITAS RUMAH LENTERA


Sabtu lalu ketika saya berada di jalan, saya bertemu dengan seorang anak kecil, ia menjajakan koran dengan terpincang-pincang. Dalam benak saya ketika melihat anak itu adalah pertanyaan apakah anak ini mengenyam pendidikan atau tidak, dan melihat wajahnya yang agak meringis saya menyimpulkan sendiri anak itu menahan sakit. Terlepas dari tipuan-tipuan jalanan dewasa ini, rasanya tidak penting membahas apakah anak ini mendramatisir keadaannya demi belas kasihan orang lain atau tidak, yang terpenting adalah fikirkan bagaimana agar kelak selanjutnya kita tidak lagi menemukan anak-anak dibawah umur yang bekerja seperti ini. Saya panggil anak itu dan membeli korannya, ingin saya bertanya lebih jauh, ingin mendengar ceritanya tentang cita-cita dan hidupnya. Karena dari anak-anak seperti ini akan banyak ilmu yang didapat. Sayangnya keinginan saya harus saya urungkan karena traffic light sudah menunjukkan warna hijau. Usianya mungkin baru 10 sampai 11 tahun, masih dibawah umur untuk bekerja. Apalagi penyebab anak ini bekerja menjajakan Koran meski kakinya terpincang-pincang, tentu saja faktor ekonomi. Anak ini hanya 1 dari ribuan atau bahkan lebih dari itu di Indonesia, alangkah menyenangkan jika melihat mereka mengenyam pendidikan tanpa harus merasakan kerasnya dunia kerja saat usia mereka masih dibawah umur.
Masalah terbesar di Indonesia-salah satunya-adalah kemiskinan, dan senjata paling ampuh untuk mengalahkan kemiskinan dan adalah pendidikan. Karena itu komunitas ini dibentuk, bersama-sama sekelompok orang yang memiliki cita-cita yang sama.
 Jum’at, 07 September 2012 alhamdulillah komunitas Rumah Lentera akhirnya berkunjung ke Kantor Transmigrasi. Dimana anak-anak tidak mampu dari berbagai daerah di Kalimantan Barat ini tinggal disana dan disekolahkan oleh Pemerintah di Pontianak. Rencana bersama selanjutnya tentu kita ingin sama-sama membangun anak-anak ini, karena anak-anak yang terjepit kemiskinan ini merupakan bagian dari kita, tanggung jawab kita. Insya Allah Minggu, tanggal 23 September kita akan mulai kegiatan, sementara waktu yang bisa kita lakukan adalah mengajar, dan saat ini tenaga yang tersedia untuk mengajar matematika, bahasa Inggris dan pembekalan rohani (spiritual).
Anda mungkin pernah mendengar kata-kata ini “Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik”, anda sepakat? Anggukkan kepala anda. Berebutlah untuk berada di depan untuk mengantarkan anak-anak ini kepada kesuksesan, setidaknya menjadi penunjuk jalan.
Mereka berasal dari berbagai daerah di Kalimantan Barat, dari usia SD hingga SMA, hingga saat ini terdata 48 anak yang berada disana. Mereka terdiri dari anak-anak yatim, yatim piatu dan anak-anak kurang mampu. Tempat tinggal, biaya hidup dan sekolah ditanggung oleh pemerintah. Namun, mereka membutuhkan sesuatu yang lebih, sehingga ketika pulang nanti mereka mampu membawa sesuatu ke daerahnya, perubahan. Barangkali apa yang bisa kita berikan bukanlah sesuatu yang besar atau berharga, tidak pula berarti besar, tapi anak-anak ini tidak bisa menunggu sesuatu yang lebih berarti, kelak mereka pun menjadi dewasa, dan saat itu mungkin keadaan sudah berbeda. Hal kecil yang kita lakukan saat ini mungkin tidak berarti sekarang, tapi yakinlah suatu hari apa yang kita lakukan akan memberi banyak pelajaran untuk kita masing-masing dan mudah-mudahan bermanfaat bagi orang lain.

Rembulan Malam Ini

Minggu, 01 Juli 2012


Aku mengintip rembulan malam ini ...
jauh ... amat jauh ...
dalam kosa kata yang tak kunjung padam ...
ku tuliskan dalam lembaran-lembaran sejak hari kau gandeng tanganku ...
aku amat sangat ingin mendekap rembulan ...

Malam ini ...
Lihatlah dingin tanganku ...
aku memeluk lututku ...
menekan hatiku susah payah ...
dengan luka yang tak terlihat ...

ku tatap rembulan ...
adakah saat ini kau menatap bulan yang sama denganku?
ataukah kaupun tengah memeluk lututmu sendiri?
dan menekan hatimu kuat-kuat?

Rembulan ...
apa kau lihat awan merenggutnya ...
apakah kau seperti rembulan?
aku tak tahu ...
dimana kucari tahu?
aku tak tahu ...
lamat-lamat amat lirih aku berkata pada rembulan ...
aku tak ingin kau terenggut oleh apapun ...
oleh apapun ...
agar dapat kunikmati rupamu setiap detik ...
agar dapat kuhirup aromamu setiap waktu ...



Kau bilang ...
Tuhan Maha Kaya ...
Tuhan Maha Bisa ...
Ia tak akan canggung memberi kita setetes kekayaan dan kemurahan yang Ia miliki sehingga kita akan menemukan cinta ...
sejauh apapun ...
sejauh apapun ...

Dalam kaca-kaca yang mengurungku ...
ku tatap lagi rembulan ...
entahlah amat yakin kukatakan ...
kau pun menatapnya saat ini ...
kau dan aku menatap rembulan yang sama ...
seolah kita tengah saling bersandar ...
di bawah rembulan malam ini ...

BAB DUA

Rabu, 20 Juni 2012

Semburat merah langit Jakarta
             Sore selepas bermain futsal aku pulang kerumah. Aku selalu ingat untuk sarapan dan makan malam dirumah, masakan Ibu tidak ada yang menandingi. Ibu selalu bisa membuatku sedemikian rupa merindukannya. Kuharap gadisku nanti akan seperti Ibu, lagi-lagi mengkhayal, mungkin karena sekian lama menjomblo, aku tertawa sendiri.
            “mas, bannya kempes”, seseorang menegurku. Seorang lelaki tua bervespa warna merah delima.
            “oh iya pak terima kasih”, aku baru menyadari motorku agak goyang dikendarai. Lelaki tua tadi kemudian mendahuluiku. Aku menepi, mencari bengkel dijalan-jalan yang kulalui, dan bertanya-tanya pada orang. Hari sudah sore, semburat mega mulai tampak.
            “di dekat musola di gang sana ada mas, mas lurus aja, trus ada apotik didepan gangnya, apotik sehat namanya mas, gak jauh masuk ke gang ada musola, nah dideket situ ada bengkel mas”, ujar seseorang yang kutanyai. Setelah mengucapkan terima kasih aku mengikuti arahan dari orang tadi. Jalanan seperti biasa selalu ramai tapi tidak macet. Aku masuk ke gang yang dimaksud orang tadi sambil terus mendorong motorku, hanya berjarak beberapa rumah aku sudah menemukan mushola yang dimaksud, dan langsung menemukan bengkel yang hanya berjarak 2 rumah saja dari musola itu. Aku langsung membawa motorku ke bengkel, sambil menunggu aku melihat-lihat sekitar, kulihat vespa warna merah delima diparkir di halaman mushola. Kupandangi vespa itu, menarik. Sepertinya pemiliknya adalah bapak tua yang tadi menegurku karena ban motorku kempes, hatiku tergerak untuk melihatnya lebih dekat. Aku mengamati vespa itu hingga tak sadar seseorang berdiri di dekatku.
            “Assalamu’alaikum”, aku mengangkat kepalaku yang tengah mengamati motor tadi. Setengah terkejut melihat pemilik suara ternyata bapak tua tadi.
            “maaf pak, saya hanya melihat-lihat”, ujarku tanpa menyahut salamnya.
            “iya, iya, tidak apa-apa, motor ini memang tua tapi masih dalam kondisi baik”, ujarnya tanpa ditanyai sembari tangannya menepuk-nepuk pelan bagian kepala motornya.
            “iya, kelihatan sekali bapak merawatnya dengan baik”, aku mengiyakan sambil masih memperhatikan. Tiba-tiba adzan berkumandang dari speaker masjid, semburat mega merah kelihatan megah, mempesona. Bapak tua itu menepuk pundakku.
            “Baiknya kita shalat dulu, nanti bisa kita lanjutkan lagi”, aku menoleh sebentar ke bengkel, ban motorku pasti sudah selesai diganti, tak butuh waktu lama. Tapi ajakan Bapak tua ini mempesonaku, entah karena semburat merah langit Jakarta sore ini atau apapun aku akhirnya mengiyakan, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melakukan ini.

Lamat-lamat ku amati sekitar, sepi. Musola ini kecil, dan hanya ada kami berlima di dalamnya, aku, Bapak tua tadi, seorang remaja usia belasan tahun yang kuduga mengumandangkan adzan tadi, seorang anak kecil perempuan dan Ibunya. Tapi bisa kulihat Mushola ini bersih, terawat setidaknya ini berarti masih ada orang-orang yang bersedia menghidupkan mushola kecil seperti ini.
            “Silahkan nak”, bapak tadi mempersilahkanku maju ke depan dan menjadi imam shalat. Aku terbengong-bengong dan sedikit gugup. 
            “saya belum sunat pak”, glek, aku kemudian menyesal dengan apa yang kukatakan, menepuk mulutku sendiri, tentu saja kenyataannya tidak begitu. Remaja tanggung yang berdiri di sebelahku kemudian tertawa, tapi lalu ditahannya saat aku menoleh dan agak heran melihatnya tertawa. Bapak tua tadi hanya tersenyum-senyum lalu mengangguk-angguk beralih untuk memposisikan diri sebagai imam shalat.
***
            Sesampainya di rumah aku segera menghampiri meja makan. Perutku sudah terlalu lapar untuk menyisihkan waktu mandi. Apalagi mencium aroma masakan ibu, tak sanggup jika harus menunggu selesai mandi, lagipula saat paling nikmat menyantap makanan adalah saat perut dalam kondisi lapar.
            “Kakak ini jelek, gimana mau punya pacar, mandi aja nggak mau”, celetuk Mega.
            “Hey gendut, darimana kamu tahu soal pacaran? masih kecil udah tahu begituan”
        “kata Jodi Kakaknya udah punya pacar, aku tanya sama dia, pacar itu apa, katanya pacar itu seperti Ayah sama Ibu”, Jodi anak tetangga kami sekaligus teman sekolah Mega. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

Maghrib

·

maghrib,
penghulu matahari menarik diri
Mengawinkannya dengan senja ..
Dalam mega terpekur seorang-seorang saja

Suara-suara kereta dalam barisan hari ini terhenti
Segera sajak-sajak berkejar-kejar dengan angin
Gelombangnya memotong sejumlah potongan garis kota lalu mengaburkannya

Lalu dalam haru dan resahnya
musola kecil dalam kota besar
Bertubi-tubi memanggil-manggil
Sang kelana yang tak jua rehat dari perjalanannya

Jauh nian dalam pandangannya
Sebuah telaga dalam peta ..
Padahal telaga tengah pasang
Saat maghrib dimusola kecil kota besar

Pontianak,maghrib mengikat senja
Singgahlah dan raup air dalam telaga

Tak mudah menjadi aku

·

Kau ...
dengarlah sedikit suaraku yang patah-patah ini ...
sambil tersenyum harapku tapi tidak kemudian ...
karena tiba-tiba di penghujung ucapanku ...
aku merasa terhuyung ...

aku belum bertanya pada Tuhan ...
apakah telah ia mengajarimu ...
arti siapapun dalam masa hidupmu

tiba-tiba merasa aku terlempar di lautan ...
tergulung ombak...
kau tinggalkan ...

Oh ...
tak mudah menjadi aku ini ...
kau, tak dengarkah?
tak bisa binasa semua catatan usangku
sakit mengarungi lautan besar ini sendiri ...
setelah dulu setengah kau yang ajari aku lautan ...

tak mudah menjadi aku ...
coba saja gantikan dudukmu disini ...
tidak, tidak kau juga akan bilang ...
tak mudah menjadi aku ...

sempurna ...
indahmu sempurna ...
sampai kini pun segala telah sempurna ...
dan aku lunglai karena sakit itu pun terasa sempurna ...
demikian ku kata tak mudah menjadi aku ...

Jendela Kunang-kunang

·

Kunang-kunang
Ku sambangi jendelamu
sambil kuraba dinding yang kusam di hadapku
ku letakkan satu-satu kunang-kunang di jendelamu
biar kau tak gelap saat duduk memandangku

Aku merana saat pagi
Kunang-kunang terbang pergi atau bersembunyi
dan kau tak ada di jendelamu
rindu ...

Aku ingin menembus dinding istanamu yang tinggi
Biar setiap hari kutaruh kunang-kunang di tanganmu
Tidak untuk apapun ...
Hanya untuk binar matamu ..

masih ku ingat mata pertamamu ...
pertama kali jeda mempertemukan kita berdua
dan kunang-kunang hinggap di jendelamu
Kau jatuh cinta dan aku pula ...
pada kunang-kunang mungkin atau pada kita berdua

Kunang-kunang tak datang bersama matahari
atau kau tak tahu
dan ku ajari engkau persahabatan dengannya
agar malam ini ia datang kembali padamu
dan mengulang kembali jeda pertama kita bertemu ...

Setangkai Mawar Merah

·

Aku mau jadi setangkai mawar merah
biar bisa kau simpan dikamarmu hingga layu
Aku mau jadi setangkai mawar merah ...
biar membusuk di tong sampahmu ...

Aku mau jadi setangkai mawar merah ...
yang saat kau petik aku sakit tapi lalu mati
aku mau jadi setangkai mawar merah ...
yang bila layu kau buang tapi aku mati ...

Aku mau jadi setangkai mawar merah
tidak menangis saat kau petik
tidak menangis saat kau buang
tidak menangis saat kelopakku layu
tidak menangis saat membusuk ...
karena sebelum aku bersiap aku telah mati

Biar saja taman kini gersang menjadi gurun
mungkin pun mawarmu telah terkubur dalam-dalam
pilu dan membusuk
tapi biarlah mawarmu sudah mati
dalam mimpi pun tidak lagi ia harum
dalam khayal pun tidak lagi ia dalam vas di meja kamarmu ...

malam-malam yang kau tunjuk
kemarin dan saat ini ...
tidak seorang pun merenggutnya ...
hanya aku menggigit bibir
dengan batin amat sesak
kembali lagi di batu-batu ...
menunggu ...
menunggu ...
setangkai mawar merah sekali lagi di taman itu

PURNAMA TERAKHIR

·


Wahai purnama …
Yang lalu lalang kemarin bersama desing peluru malam pusaka
Wahai purnama …
Sepikah rumah-rumah yang koyak malam itu?
Wahai purnama …
Adakah kau saksikan kelahiran putra pertiwi dalam selimutmu?

Sudah ku tunggu …
Puluhan purnama dalam tahun-tahun yang muram …
Hingga esok purnama berakhir aku menunggu …
Saat aku bersaksi tentang Negeri para petani yang miskin …
Tentang Negeri para buruh yang nestapa …
Tentang anak-anak yang kehilangan suka dalam buku-buku masa depannya

Sudahkah kau berbincang dengan pungguk yang seakan mati …
Pura-pura ingin padahal tak ingin ..
Katanya bernyanyi tentang Indonesia ....
Dalam panggung-panggung yang digotong terpincang-pincang …
Katanya pula seperti Purnama terakhir baginya Indonesia

Hey Engkau!
Sudahkah kau saksikan puisi malam itu
Oleh angin dan hujan yang menghujam
Atau api yang membakar kamar-kamar tuanmu …

Hey engkau !
Kubaca tulisan-tulisan usang dibalik kacamatamu
Jangan berteriak!
Jangan teriakkan kemerdekaan itu!
Waktu anak menangis di kakimu
Menjerit dalam rumah-rumah tanpa jendela

Sudah ku simpan seikat pusaka
Merah putih namanya …
Biar aku ajarkan padamu tentang kemuliaan
Tentang Merah dan Putih
Tentang tanah ini …

Tapi kaukah itu?
Yang memeluk anak-anak tanpa Ayah dan Ibu dengan tanganmu?
Tapi kaukah itu?
Yang menyirami tanah petani dengan tanganmu?

Ahhhhhhhhhhh
Aku menunggu sampai mati!
Sampai tak ada lagi api!
Sampai purnama kemarau menanti

Tak ada sesiapa yang suka membuka pintu untuk kami
Kaupun pemuda dari Negeriku bergeming, atau mati!
Mana ku tahu!
Mana aku mengerti!

Esok purnama terakhir…
Kau saksikan sendiri penderitaan Negerimu
Mati atau hapus air mata pertiwi

Lalu teriakkanlah tentang masa depan bangsamu
Teriakkan jeritan anak-anak jalanan didadamu
Bawa serta perjuanganmu!
Biar ku berikan lilin ini untuk kau sambut kawanmu nanti
Nyalakan lilinmu!
Nyalakan lilinmu!

KOMUNITAS RUMAH LENTERA

·


Sabtu lalu ketika saya berada di jalan, saya bertemu dengan seorang anak kecil, ia menjajakan koran dengan terpincang-pincang. Dalam benak saya ketika melihat anak itu adalah pertanyaan apakah anak ini mengenyam pendidikan atau tidak, dan melihat wajahnya yang agak meringis saya menyimpulkan sendiri anak itu menahan sakit. Terlepas dari tipuan-tipuan jalanan dewasa ini, rasanya tidak penting membahas apakah anak ini mendramatisir keadaannya demi belas kasihan orang lain atau tidak, yang terpenting adalah fikirkan bagaimana agar kelak selanjutnya kita tidak lagi menemukan anak-anak dibawah umur yang bekerja seperti ini. Saya panggil anak itu dan membeli korannya, ingin saya bertanya lebih jauh, ingin mendengar ceritanya tentang cita-cita dan hidupnya. Karena dari anak-anak seperti ini akan banyak ilmu yang didapat. Sayangnya keinginan saya harus saya urungkan karena traffic light sudah menunjukkan warna hijau. Usianya mungkin baru 10 sampai 11 tahun, masih dibawah umur untuk bekerja. Apalagi penyebab anak ini bekerja menjajakan Koran meski kakinya terpincang-pincang, tentu saja faktor ekonomi. Anak ini hanya 1 dari ribuan atau bahkan lebih dari itu di Indonesia, alangkah menyenangkan jika melihat mereka mengenyam pendidikan tanpa harus merasakan kerasnya dunia kerja saat usia mereka masih dibawah umur.
Masalah terbesar di Indonesia-salah satunya-adalah kemiskinan, dan senjata paling ampuh untuk mengalahkan kemiskinan dan adalah pendidikan. Karena itu komunitas ini dibentuk, bersama-sama sekelompok orang yang memiliki cita-cita yang sama.
 Jum’at, 07 September 2012 alhamdulillah komunitas Rumah Lentera akhirnya berkunjung ke Kantor Transmigrasi. Dimana anak-anak tidak mampu dari berbagai daerah di Kalimantan Barat ini tinggal disana dan disekolahkan oleh Pemerintah di Pontianak. Rencana bersama selanjutnya tentu kita ingin sama-sama membangun anak-anak ini, karena anak-anak yang terjepit kemiskinan ini merupakan bagian dari kita, tanggung jawab kita. Insya Allah Minggu, tanggal 23 September kita akan mulai kegiatan, sementara waktu yang bisa kita lakukan adalah mengajar, dan saat ini tenaga yang tersedia untuk mengajar matematika, bahasa Inggris dan pembekalan rohani (spiritual).
Anda mungkin pernah mendengar kata-kata ini “Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik”, anda sepakat? Anggukkan kepala anda. Berebutlah untuk berada di depan untuk mengantarkan anak-anak ini kepada kesuksesan, setidaknya menjadi penunjuk jalan.
Mereka berasal dari berbagai daerah di Kalimantan Barat, dari usia SD hingga SMA, hingga saat ini terdata 48 anak yang berada disana. Mereka terdiri dari anak-anak yatim, yatim piatu dan anak-anak kurang mampu. Tempat tinggal, biaya hidup dan sekolah ditanggung oleh pemerintah. Namun, mereka membutuhkan sesuatu yang lebih, sehingga ketika pulang nanti mereka mampu membawa sesuatu ke daerahnya, perubahan. Barangkali apa yang bisa kita berikan bukanlah sesuatu yang besar atau berharga, tidak pula berarti besar, tapi anak-anak ini tidak bisa menunggu sesuatu yang lebih berarti, kelak mereka pun menjadi dewasa, dan saat itu mungkin keadaan sudah berbeda. Hal kecil yang kita lakukan saat ini mungkin tidak berarti sekarang, tapi yakinlah suatu hari apa yang kita lakukan akan memberi banyak pelajaran untuk kita masing-masing dan mudah-mudahan bermanfaat bagi orang lain.

Rembulan Malam Ini

·


Aku mengintip rembulan malam ini ...
jauh ... amat jauh ...
dalam kosa kata yang tak kunjung padam ...
ku tuliskan dalam lembaran-lembaran sejak hari kau gandeng tanganku ...
aku amat sangat ingin mendekap rembulan ...

Malam ini ...
Lihatlah dingin tanganku ...
aku memeluk lututku ...
menekan hatiku susah payah ...
dengan luka yang tak terlihat ...

ku tatap rembulan ...
adakah saat ini kau menatap bulan yang sama denganku?
ataukah kaupun tengah memeluk lututmu sendiri?
dan menekan hatimu kuat-kuat?

Rembulan ...
apa kau lihat awan merenggutnya ...
apakah kau seperti rembulan?
aku tak tahu ...
dimana kucari tahu?
aku tak tahu ...
lamat-lamat amat lirih aku berkata pada rembulan ...
aku tak ingin kau terenggut oleh apapun ...
oleh apapun ...
agar dapat kunikmati rupamu setiap detik ...
agar dapat kuhirup aromamu setiap waktu ...



Kau bilang ...
Tuhan Maha Kaya ...
Tuhan Maha Bisa ...
Ia tak akan canggung memberi kita setetes kekayaan dan kemurahan yang Ia miliki sehingga kita akan menemukan cinta ...
sejauh apapun ...
sejauh apapun ...

Dalam kaca-kaca yang mengurungku ...
ku tatap lagi rembulan ...
entahlah amat yakin kukatakan ...
kau pun menatapnya saat ini ...
kau dan aku menatap rembulan yang sama ...
seolah kita tengah saling bersandar ...
di bawah rembulan malam ini ...

BAB DUA

·

Semburat merah langit Jakarta
             Sore selepas bermain futsal aku pulang kerumah. Aku selalu ingat untuk sarapan dan makan malam dirumah, masakan Ibu tidak ada yang menandingi. Ibu selalu bisa membuatku sedemikian rupa merindukannya. Kuharap gadisku nanti akan seperti Ibu, lagi-lagi mengkhayal, mungkin karena sekian lama menjomblo, aku tertawa sendiri.
            “mas, bannya kempes”, seseorang menegurku. Seorang lelaki tua bervespa warna merah delima.
            “oh iya pak terima kasih”, aku baru menyadari motorku agak goyang dikendarai. Lelaki tua tadi kemudian mendahuluiku. Aku menepi, mencari bengkel dijalan-jalan yang kulalui, dan bertanya-tanya pada orang. Hari sudah sore, semburat mega mulai tampak.
            “di dekat musola di gang sana ada mas, mas lurus aja, trus ada apotik didepan gangnya, apotik sehat namanya mas, gak jauh masuk ke gang ada musola, nah dideket situ ada bengkel mas”, ujar seseorang yang kutanyai. Setelah mengucapkan terima kasih aku mengikuti arahan dari orang tadi. Jalanan seperti biasa selalu ramai tapi tidak macet. Aku masuk ke gang yang dimaksud orang tadi sambil terus mendorong motorku, hanya berjarak beberapa rumah aku sudah menemukan mushola yang dimaksud, dan langsung menemukan bengkel yang hanya berjarak 2 rumah saja dari musola itu. Aku langsung membawa motorku ke bengkel, sambil menunggu aku melihat-lihat sekitar, kulihat vespa warna merah delima diparkir di halaman mushola. Kupandangi vespa itu, menarik. Sepertinya pemiliknya adalah bapak tua yang tadi menegurku karena ban motorku kempes, hatiku tergerak untuk melihatnya lebih dekat. Aku mengamati vespa itu hingga tak sadar seseorang berdiri di dekatku.
            “Assalamu’alaikum”, aku mengangkat kepalaku yang tengah mengamati motor tadi. Setengah terkejut melihat pemilik suara ternyata bapak tua tadi.
            “maaf pak, saya hanya melihat-lihat”, ujarku tanpa menyahut salamnya.
            “iya, iya, tidak apa-apa, motor ini memang tua tapi masih dalam kondisi baik”, ujarnya tanpa ditanyai sembari tangannya menepuk-nepuk pelan bagian kepala motornya.
            “iya, kelihatan sekali bapak merawatnya dengan baik”, aku mengiyakan sambil masih memperhatikan. Tiba-tiba adzan berkumandang dari speaker masjid, semburat mega merah kelihatan megah, mempesona. Bapak tua itu menepuk pundakku.
            “Baiknya kita shalat dulu, nanti bisa kita lanjutkan lagi”, aku menoleh sebentar ke bengkel, ban motorku pasti sudah selesai diganti, tak butuh waktu lama. Tapi ajakan Bapak tua ini mempesonaku, entah karena semburat merah langit Jakarta sore ini atau apapun aku akhirnya mengiyakan, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melakukan ini.

Lamat-lamat ku amati sekitar, sepi. Musola ini kecil, dan hanya ada kami berlima di dalamnya, aku, Bapak tua tadi, seorang remaja usia belasan tahun yang kuduga mengumandangkan adzan tadi, seorang anak kecil perempuan dan Ibunya. Tapi bisa kulihat Mushola ini bersih, terawat setidaknya ini berarti masih ada orang-orang yang bersedia menghidupkan mushola kecil seperti ini.
            “Silahkan nak”, bapak tadi mempersilahkanku maju ke depan dan menjadi imam shalat. Aku terbengong-bengong dan sedikit gugup. 
            “saya belum sunat pak”, glek, aku kemudian menyesal dengan apa yang kukatakan, menepuk mulutku sendiri, tentu saja kenyataannya tidak begitu. Remaja tanggung yang berdiri di sebelahku kemudian tertawa, tapi lalu ditahannya saat aku menoleh dan agak heran melihatnya tertawa. Bapak tua tadi hanya tersenyum-senyum lalu mengangguk-angguk beralih untuk memposisikan diri sebagai imam shalat.
***
            Sesampainya di rumah aku segera menghampiri meja makan. Perutku sudah terlalu lapar untuk menyisihkan waktu mandi. Apalagi mencium aroma masakan ibu, tak sanggup jika harus menunggu selesai mandi, lagipula saat paling nikmat menyantap makanan adalah saat perut dalam kondisi lapar.
            “Kakak ini jelek, gimana mau punya pacar, mandi aja nggak mau”, celetuk Mega.
            “Hey gendut, darimana kamu tahu soal pacaran? masih kecil udah tahu begituan”
        “kata Jodi Kakaknya udah punya pacar, aku tanya sama dia, pacar itu apa, katanya pacar itu seperti Ayah sama Ibu”, Jodi anak tetangga kami sekaligus teman sekolah Mega. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

Jumat, 02 November 2012

Maghrib


maghrib,
penghulu matahari menarik diri
Mengawinkannya dengan senja ..
Dalam mega terpekur seorang-seorang saja

Suara-suara kereta dalam barisan hari ini terhenti
Segera sajak-sajak berkejar-kejar dengan angin
Gelombangnya memotong sejumlah potongan garis kota lalu mengaburkannya

Lalu dalam haru dan resahnya
musola kecil dalam kota besar
Bertubi-tubi memanggil-manggil
Sang kelana yang tak jua rehat dari perjalanannya

Jauh nian dalam pandangannya
Sebuah telaga dalam peta ..
Padahal telaga tengah pasang
Saat maghrib dimusola kecil kota besar

Pontianak,maghrib mengikat senja
Singgahlah dan raup air dalam telaga

Selasa, 30 Oktober 2012

Tak mudah menjadi aku


Kau ...
dengarlah sedikit suaraku yang patah-patah ini ...
sambil tersenyum harapku tapi tidak kemudian ...
karena tiba-tiba di penghujung ucapanku ...
aku merasa terhuyung ...

aku belum bertanya pada Tuhan ...
apakah telah ia mengajarimu ...
arti siapapun dalam masa hidupmu

tiba-tiba merasa aku terlempar di lautan ...
tergulung ombak...
kau tinggalkan ...

Oh ...
tak mudah menjadi aku ini ...
kau, tak dengarkah?
tak bisa binasa semua catatan usangku
sakit mengarungi lautan besar ini sendiri ...
setelah dulu setengah kau yang ajari aku lautan ...

tak mudah menjadi aku ...
coba saja gantikan dudukmu disini ...
tidak, tidak kau juga akan bilang ...
tak mudah menjadi aku ...

sempurna ...
indahmu sempurna ...
sampai kini pun segala telah sempurna ...
dan aku lunglai karena sakit itu pun terasa sempurna ...
demikian ku kata tak mudah menjadi aku ...

Senin, 17 September 2012

Jendela Kunang-kunang


Kunang-kunang
Ku sambangi jendelamu
sambil kuraba dinding yang kusam di hadapku
ku letakkan satu-satu kunang-kunang di jendelamu
biar kau tak gelap saat duduk memandangku

Aku merana saat pagi
Kunang-kunang terbang pergi atau bersembunyi
dan kau tak ada di jendelamu
rindu ...

Aku ingin menembus dinding istanamu yang tinggi
Biar setiap hari kutaruh kunang-kunang di tanganmu
Tidak untuk apapun ...
Hanya untuk binar matamu ..

masih ku ingat mata pertamamu ...
pertama kali jeda mempertemukan kita berdua
dan kunang-kunang hinggap di jendelamu
Kau jatuh cinta dan aku pula ...
pada kunang-kunang mungkin atau pada kita berdua

Kunang-kunang tak datang bersama matahari
atau kau tak tahu
dan ku ajari engkau persahabatan dengannya
agar malam ini ia datang kembali padamu
dan mengulang kembali jeda pertama kita bertemu ...

Minggu, 16 September 2012

Setangkai Mawar Merah


Aku mau jadi setangkai mawar merah
biar bisa kau simpan dikamarmu hingga layu
Aku mau jadi setangkai mawar merah ...
biar membusuk di tong sampahmu ...

Aku mau jadi setangkai mawar merah ...
yang saat kau petik aku sakit tapi lalu mati
aku mau jadi setangkai mawar merah ...
yang bila layu kau buang tapi aku mati ...

Aku mau jadi setangkai mawar merah
tidak menangis saat kau petik
tidak menangis saat kau buang
tidak menangis saat kelopakku layu
tidak menangis saat membusuk ...
karena sebelum aku bersiap aku telah mati

Biar saja taman kini gersang menjadi gurun
mungkin pun mawarmu telah terkubur dalam-dalam
pilu dan membusuk
tapi biarlah mawarmu sudah mati
dalam mimpi pun tidak lagi ia harum
dalam khayal pun tidak lagi ia dalam vas di meja kamarmu ...

malam-malam yang kau tunjuk
kemarin dan saat ini ...
tidak seorang pun merenggutnya ...
hanya aku menggigit bibir
dengan batin amat sesak
kembali lagi di batu-batu ...
menunggu ...
menunggu ...
setangkai mawar merah sekali lagi di taman itu

Jumat, 14 September 2012

PURNAMA TERAKHIR



Wahai purnama …
Yang lalu lalang kemarin bersama desing peluru malam pusaka
Wahai purnama …
Sepikah rumah-rumah yang koyak malam itu?
Wahai purnama …
Adakah kau saksikan kelahiran putra pertiwi dalam selimutmu?

Sudah ku tunggu …
Puluhan purnama dalam tahun-tahun yang muram …
Hingga esok purnama berakhir aku menunggu …
Saat aku bersaksi tentang Negeri para petani yang miskin …
Tentang Negeri para buruh yang nestapa …
Tentang anak-anak yang kehilangan suka dalam buku-buku masa depannya

Sudahkah kau berbincang dengan pungguk yang seakan mati …
Pura-pura ingin padahal tak ingin ..
Katanya bernyanyi tentang Indonesia ....
Dalam panggung-panggung yang digotong terpincang-pincang …
Katanya pula seperti Purnama terakhir baginya Indonesia

Hey Engkau!
Sudahkah kau saksikan puisi malam itu
Oleh angin dan hujan yang menghujam
Atau api yang membakar kamar-kamar tuanmu …

Hey engkau !
Kubaca tulisan-tulisan usang dibalik kacamatamu
Jangan berteriak!
Jangan teriakkan kemerdekaan itu!
Waktu anak menangis di kakimu
Menjerit dalam rumah-rumah tanpa jendela

Sudah ku simpan seikat pusaka
Merah putih namanya …
Biar aku ajarkan padamu tentang kemuliaan
Tentang Merah dan Putih
Tentang tanah ini …

Tapi kaukah itu?
Yang memeluk anak-anak tanpa Ayah dan Ibu dengan tanganmu?
Tapi kaukah itu?
Yang menyirami tanah petani dengan tanganmu?

Ahhhhhhhhhhh
Aku menunggu sampai mati!
Sampai tak ada lagi api!
Sampai purnama kemarau menanti

Tak ada sesiapa yang suka membuka pintu untuk kami
Kaupun pemuda dari Negeriku bergeming, atau mati!
Mana ku tahu!
Mana aku mengerti!

Esok purnama terakhir…
Kau saksikan sendiri penderitaan Negerimu
Mati atau hapus air mata pertiwi

Lalu teriakkanlah tentang masa depan bangsamu
Teriakkan jeritan anak-anak jalanan didadamu
Bawa serta perjuanganmu!
Biar ku berikan lilin ini untuk kau sambut kawanmu nanti
Nyalakan lilinmu!
Nyalakan lilinmu!

KOMUNITAS RUMAH LENTERA



Sabtu lalu ketika saya berada di jalan, saya bertemu dengan seorang anak kecil, ia menjajakan koran dengan terpincang-pincang. Dalam benak saya ketika melihat anak itu adalah pertanyaan apakah anak ini mengenyam pendidikan atau tidak, dan melihat wajahnya yang agak meringis saya menyimpulkan sendiri anak itu menahan sakit. Terlepas dari tipuan-tipuan jalanan dewasa ini, rasanya tidak penting membahas apakah anak ini mendramatisir keadaannya demi belas kasihan orang lain atau tidak, yang terpenting adalah fikirkan bagaimana agar kelak selanjutnya kita tidak lagi menemukan anak-anak dibawah umur yang bekerja seperti ini. Saya panggil anak itu dan membeli korannya, ingin saya bertanya lebih jauh, ingin mendengar ceritanya tentang cita-cita dan hidupnya. Karena dari anak-anak seperti ini akan banyak ilmu yang didapat. Sayangnya keinginan saya harus saya urungkan karena traffic light sudah menunjukkan warna hijau. Usianya mungkin baru 10 sampai 11 tahun, masih dibawah umur untuk bekerja. Apalagi penyebab anak ini bekerja menjajakan Koran meski kakinya terpincang-pincang, tentu saja faktor ekonomi. Anak ini hanya 1 dari ribuan atau bahkan lebih dari itu di Indonesia, alangkah menyenangkan jika melihat mereka mengenyam pendidikan tanpa harus merasakan kerasnya dunia kerja saat usia mereka masih dibawah umur.
Masalah terbesar di Indonesia-salah satunya-adalah kemiskinan, dan senjata paling ampuh untuk mengalahkan kemiskinan dan adalah pendidikan. Karena itu komunitas ini dibentuk, bersama-sama sekelompok orang yang memiliki cita-cita yang sama.
 Jum’at, 07 September 2012 alhamdulillah komunitas Rumah Lentera akhirnya berkunjung ke Kantor Transmigrasi. Dimana anak-anak tidak mampu dari berbagai daerah di Kalimantan Barat ini tinggal disana dan disekolahkan oleh Pemerintah di Pontianak. Rencana bersama selanjutnya tentu kita ingin sama-sama membangun anak-anak ini, karena anak-anak yang terjepit kemiskinan ini merupakan bagian dari kita, tanggung jawab kita. Insya Allah Minggu, tanggal 23 September kita akan mulai kegiatan, sementara waktu yang bisa kita lakukan adalah mengajar, dan saat ini tenaga yang tersedia untuk mengajar matematika, bahasa Inggris dan pembekalan rohani (spiritual).
Anda mungkin pernah mendengar kata-kata ini “Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik”, anda sepakat? Anggukkan kepala anda. Berebutlah untuk berada di depan untuk mengantarkan anak-anak ini kepada kesuksesan, setidaknya menjadi penunjuk jalan.
Mereka berasal dari berbagai daerah di Kalimantan Barat, dari usia SD hingga SMA, hingga saat ini terdata 48 anak yang berada disana. Mereka terdiri dari anak-anak yatim, yatim piatu dan anak-anak kurang mampu. Tempat tinggal, biaya hidup dan sekolah ditanggung oleh pemerintah. Namun, mereka membutuhkan sesuatu yang lebih, sehingga ketika pulang nanti mereka mampu membawa sesuatu ke daerahnya, perubahan. Barangkali apa yang bisa kita berikan bukanlah sesuatu yang besar atau berharga, tidak pula berarti besar, tapi anak-anak ini tidak bisa menunggu sesuatu yang lebih berarti, kelak mereka pun menjadi dewasa, dan saat itu mungkin keadaan sudah berbeda. Hal kecil yang kita lakukan saat ini mungkin tidak berarti sekarang, tapi yakinlah suatu hari apa yang kita lakukan akan memberi banyak pelajaran untuk kita masing-masing dan mudah-mudahan bermanfaat bagi orang lain.

Minggu, 01 Juli 2012

Rembulan Malam Ini



Aku mengintip rembulan malam ini ...
jauh ... amat jauh ...
dalam kosa kata yang tak kunjung padam ...
ku tuliskan dalam lembaran-lembaran sejak hari kau gandeng tanganku ...
aku amat sangat ingin mendekap rembulan ...

Malam ini ...
Lihatlah dingin tanganku ...
aku memeluk lututku ...
menekan hatiku susah payah ...
dengan luka yang tak terlihat ...

ku tatap rembulan ...
adakah saat ini kau menatap bulan yang sama denganku?
ataukah kaupun tengah memeluk lututmu sendiri?
dan menekan hatimu kuat-kuat?

Rembulan ...
apa kau lihat awan merenggutnya ...
apakah kau seperti rembulan?
aku tak tahu ...
dimana kucari tahu?
aku tak tahu ...
lamat-lamat amat lirih aku berkata pada rembulan ...
aku tak ingin kau terenggut oleh apapun ...
oleh apapun ...
agar dapat kunikmati rupamu setiap detik ...
agar dapat kuhirup aromamu setiap waktu ...



Kau bilang ...
Tuhan Maha Kaya ...
Tuhan Maha Bisa ...
Ia tak akan canggung memberi kita setetes kekayaan dan kemurahan yang Ia miliki sehingga kita akan menemukan cinta ...
sejauh apapun ...
sejauh apapun ...

Dalam kaca-kaca yang mengurungku ...
ku tatap lagi rembulan ...
entahlah amat yakin kukatakan ...
kau pun menatapnya saat ini ...
kau dan aku menatap rembulan yang sama ...
seolah kita tengah saling bersandar ...
di bawah rembulan malam ini ...

Rabu, 20 Juni 2012

BAB DUA


Semburat merah langit Jakarta
             Sore selepas bermain futsal aku pulang kerumah. Aku selalu ingat untuk sarapan dan makan malam dirumah, masakan Ibu tidak ada yang menandingi. Ibu selalu bisa membuatku sedemikian rupa merindukannya. Kuharap gadisku nanti akan seperti Ibu, lagi-lagi mengkhayal, mungkin karena sekian lama menjomblo, aku tertawa sendiri.
            “mas, bannya kempes”, seseorang menegurku. Seorang lelaki tua bervespa warna merah delima.
            “oh iya pak terima kasih”, aku baru menyadari motorku agak goyang dikendarai. Lelaki tua tadi kemudian mendahuluiku. Aku menepi, mencari bengkel dijalan-jalan yang kulalui, dan bertanya-tanya pada orang. Hari sudah sore, semburat mega mulai tampak.
            “di dekat musola di gang sana ada mas, mas lurus aja, trus ada apotik didepan gangnya, apotik sehat namanya mas, gak jauh masuk ke gang ada musola, nah dideket situ ada bengkel mas”, ujar seseorang yang kutanyai. Setelah mengucapkan terima kasih aku mengikuti arahan dari orang tadi. Jalanan seperti biasa selalu ramai tapi tidak macet. Aku masuk ke gang yang dimaksud orang tadi sambil terus mendorong motorku, hanya berjarak beberapa rumah aku sudah menemukan mushola yang dimaksud, dan langsung menemukan bengkel yang hanya berjarak 2 rumah saja dari musola itu. Aku langsung membawa motorku ke bengkel, sambil menunggu aku melihat-lihat sekitar, kulihat vespa warna merah delima diparkir di halaman mushola. Kupandangi vespa itu, menarik. Sepertinya pemiliknya adalah bapak tua yang tadi menegurku karena ban motorku kempes, hatiku tergerak untuk melihatnya lebih dekat. Aku mengamati vespa itu hingga tak sadar seseorang berdiri di dekatku.
            “Assalamu’alaikum”, aku mengangkat kepalaku yang tengah mengamati motor tadi. Setengah terkejut melihat pemilik suara ternyata bapak tua tadi.
            “maaf pak, saya hanya melihat-lihat”, ujarku tanpa menyahut salamnya.
            “iya, iya, tidak apa-apa, motor ini memang tua tapi masih dalam kondisi baik”, ujarnya tanpa ditanyai sembari tangannya menepuk-nepuk pelan bagian kepala motornya.
            “iya, kelihatan sekali bapak merawatnya dengan baik”, aku mengiyakan sambil masih memperhatikan. Tiba-tiba adzan berkumandang dari speaker masjid, semburat mega merah kelihatan megah, mempesona. Bapak tua itu menepuk pundakku.
            “Baiknya kita shalat dulu, nanti bisa kita lanjutkan lagi”, aku menoleh sebentar ke bengkel, ban motorku pasti sudah selesai diganti, tak butuh waktu lama. Tapi ajakan Bapak tua ini mempesonaku, entah karena semburat merah langit Jakarta sore ini atau apapun aku akhirnya mengiyakan, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melakukan ini.

Lamat-lamat ku amati sekitar, sepi. Musola ini kecil, dan hanya ada kami berlima di dalamnya, aku, Bapak tua tadi, seorang remaja usia belasan tahun yang kuduga mengumandangkan adzan tadi, seorang anak kecil perempuan dan Ibunya. Tapi bisa kulihat Mushola ini bersih, terawat setidaknya ini berarti masih ada orang-orang yang bersedia menghidupkan mushola kecil seperti ini.
            “Silahkan nak”, bapak tadi mempersilahkanku maju ke depan dan menjadi imam shalat. Aku terbengong-bengong dan sedikit gugup. 
            “saya belum sunat pak”, glek, aku kemudian menyesal dengan apa yang kukatakan, menepuk mulutku sendiri, tentu saja kenyataannya tidak begitu. Remaja tanggung yang berdiri di sebelahku kemudian tertawa, tapi lalu ditahannya saat aku menoleh dan agak heran melihatnya tertawa. Bapak tua tadi hanya tersenyum-senyum lalu mengangguk-angguk beralih untuk memposisikan diri sebagai imam shalat.
***
            Sesampainya di rumah aku segera menghampiri meja makan. Perutku sudah terlalu lapar untuk menyisihkan waktu mandi. Apalagi mencium aroma masakan ibu, tak sanggup jika harus menunggu selesai mandi, lagipula saat paling nikmat menyantap makanan adalah saat perut dalam kondisi lapar.
            “Kakak ini jelek, gimana mau punya pacar, mandi aja nggak mau”, celetuk Mega.
            “Hey gendut, darimana kamu tahu soal pacaran? masih kecil udah tahu begituan”
        “kata Jodi Kakaknya udah punya pacar, aku tanya sama dia, pacar itu apa, katanya pacar itu seperti Ayah sama Ibu”, Jodi anak tetangga kami sekaligus teman sekolah Mega. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.